Mungkin kita masih ingat ada istilah "Famous in 5 Minutes", bahkan ada video berjudul "How to Become Famous in Five Minutes". Mungkin tidak perlu lima menit untuk menjadi terkenal atau ngetop. Di era media sosial, cuitan di twitter, video di YouTube, instagram, dan tentu saja tiktok, banyak orang bisa cepat terkenal dalam sekejap, viral.
Mungkin itu yang dialami oleh Farel Prayoga. Tampil di hadapan Presiden Joko Widodo dengan lagu Ojo Dibandingke, bukan hanya mempesona Presiden Jokowi, bahkan Farel mampu menarik perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani, Erick Thohir dan banyak tamu istana lainnya dengan pakaian adat Nusantara bergoyang bersama Farel.
Setelah itu Farel pun makin ngetop, berbagai video dan cuplikan tentang penampilan Farel di Istana setelah upacara Proklamasi 17 Agustus 2022 itu, banyaklah Farel mendapat undangan manggung misalnya dari Ganjar Pranowo, dan tokoh partai.
Presiden Jokowi ternyata sudah mengingatkan Farel Prayoga yang punya bakat bagus sebagai penyanyi ini agar ingat untuk fokus pada pendidikannya. Sementara itu PM Susbandono atau yang akrab disapa dengan sebutan Pak Sus juga punya perhatian terhadap Farel.
Sudut pandang dan catatan Pak Sus yang dikenal bernas kita bisa baca tuntas di bawah ini. Pak Sus memang punya perhatian dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, yang sekarang dikenal dengan istilah human capital. Yuk simak bersama.
*Bintang
Kejora itu Bernama Farel Prayoga*
@pmsusbandono
15 September
2022
PM Susbandono pakar Human Capital, Penulis Buku, Pembicara di Seminar dan Coach atau Narasumber di Pelatihan Sumber Daya Manusia (pkpberdikari.id)
Farel
Prayoga, penyanyi cilik asal Banyuwangi, yang menggemparkan Istana Merdeka
bulan lalu, tiba-tiba muncul di video.
Farel minta maaf karena harus membatalkan pertunjukan di Bali dan
menunda di Bojonegoro. Dia harus isoman.
Kemudian,
Farel digendong keluar dari arena siaran.
Tanda bahwa dia (sangat) lelah.
Sudah
diduga, sesaat setelah lagu “Ojo Dibandingke” meledak di Istana, Farel bakal
menuai “panen”. Banyak pihak
mengundangnya untuk tampil di perhelatan pesta
yang mereka gelar.
Politikus,
konglomerat, pejabat, pengusaha dan banyak selebriti buru-buru menerapkan
pepatah “Kesempatan emas tak datang dua kali”, alias “mumpungisme”.
Dengan dalih
menghargai prestasi mantan pengamen itu, mereka berlomba-lomba “memanjakan”
Farel. Honor sekali manggung, konon
sampai puluhan juta. Belum fasilitas dan
cendera mata yang diguyurkan hingga basah kuyub.
Pernah
terekam, Farel naik pesawat _charter_ di pagi hari, dari Kabupaten Tanah Bambu,
Kalimantan Selatan, agar bisa mengejar waktu sekolah di SDN 2, Kepundungan,
Srono, ujung timur Pulau Jawa, setelah mendarat di Bandara Blimbingsari.
Siraman
ganjaran pasca manggung di Istana, menjadi goncangan yang tak mudah untuk
diredakan oleh seorang Farel beserta keluarganya yang bulan lalu masih
"biasa-biasa" saja. Kejutan
yang hampir pasti membuat _“cultural shock”._
Materi jelas
sesuatu yang menggiurkan, tapi jangan lupa, “kejutan budaya” yang datang
tiba-tiba, jelas berpotensi negatif bagi pribadi yang lugu, tulus, dan apa
adanya.
Yang
terjadi, justru mereka yang mengundang lah yang mendompleng “kebesaran”
Farel. Tujuannya untuk mendapatkan nama
yang lebih besar, kocek yang lebih dalam, dan popularitas yang lebih membubung.
Tak terasa,
Farel menjadi materi promosi untuk kepentingan si pengundang. Sementara eksploitasi terhadap ketenaran
Farel mungkin menjadi bumerang bagi keutuhan pribadinya.
Dulu, kita
banyak mempunyai penyanyi dan bintang film cilik. Konon “mumpung laku”, ketenaran mereka
diperas habis-habisan.
Proses
pengembangan pribadi dan kompetensi menjadi nomer sekian, sementara manggung
dan beraksi adalah kegiatan utama yang dilakukan nyaris 24 jam. Faktanya, yang sukses setelah dewasa
jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.
Tim yunior
kesebelasan nasional sering menjuarai pertandingan. Tapi, apa kabar dengan timnas senior?. Level Asean pun masih _menggik-menthol._
Perenang
muda Indonesia disegani lawan di tingkat global. Atlet yunior banyak yang jagoan di level Asia
atau bahkan dunia. Bagaimana dengan
atlet senior di level Internasional?. Malu menceritakannya.
Juara
olimpiade ilmu pengetahuan dan peneliti muda
asal Indonesia sering terdengar, tapi hadiah Nobel dan penghargaan iptek
tak kunjung kita sandang. Penemuan karya
peneliti senior pun tak banyak diberitakan media.
Fenomena
Farel bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja.
Sekaligus
bisa menjelaskan di mana “kesalahan”
dalam memperlakukan “Bintang Kejora”.
Suatu bintang (sebetulnya adalah planet Venus) yang bisa dipandang dari
bumi, sebentar saja, di kala senja dan fajar.
Kalau saja
di waktu yang singkat itu orang salah mempersepsi keberadaan “Bintang Kejora”,
rasa kecewa lah yang muncul.
Jangan harap
“Bintang Kejora” memancar sepanjang malam, dengan “memujanya” dari bumi.
Farel
“dipaksa” terus menerus manggung selama hampir sebulan. Hadiah dan uang banyak
digenggamnya. Dia dimanja, dipuja dan
dielu-elukan bak “Bintang Kejora”. Tak
disangka bila itu
“membahayakannya”. Tak hanya
fisiknya, tapi lebih lagi jiwanya.
Tubuhnya
mungkin kuat. Tapi “Bintang Kejora” tak
akan mampu menahan “gempuran budaya” dalam bentuk sanjungan dan aplaus yang
gegap gempita.
Yang salah
bukan Farel atau keluarganya. Golongan
masyarakat tertentu yang keliru menerapkan kata “penghargaan”.
Hidup Farel
bukan hanya menyanyi bagus dan mendapatkan uang. Tak sesederhana itu. Jauh lebih luas, dalam dan kompleks. Farel memerlukan perlakuan yang pas, bukan
berlebihan.
Bukan
basi-basi kalau Pak Jokowi, tokoh pertama dan utama yang “membesarkan”,
menitipkan pesan penting buat Farel.
“Nyanyi
boleh, tapi jangan lupa belajar. Jangan lupa sekolah terus sampai
setinggi-tingginya".
Nasehat
bukan hanya untuk Farel, tapi lebih
ditujukan bagi mereka yang sudah mengincar Farel sebagai obyek “tambang
emas”. Implisit, Presiden berpesan agar
jangan melihat Farel hari ini saja. Hidupnya masih lama, bekali dia sepanjang
hidupnya.
_“Give a man
a fish and you feed him for a day; teach a man to fish and you feed him for a
lifetime.”_ — Maimonides, (1135-1204, Teolog Yahudi (rabbi), dokter, dan filsuf
di Al-Andalus, Spanyol dan Mesir yang
lahir, hidup dan berkembang dalam rahim abad keemasan kebudayaan Islam pada
Abad Pertengahan).
BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA.
INDONESIA & KABAR GLOBAL.
Komentar