Hot Topic

Kisah Bendera Merah Putih, Hansen, Pak Sus dan Indonesia Raya

Merenungkan dan menafsirkan kemerdekaan Indonesia yang diperjugankan para pejuang, pendiri bangsa, perintis kemerdekaan, dan apa yang terjadi saat ini dan masa lalu - pasti dirasakan dengan rasa hati berbeda oleh anak bangsa yang kini sedang melalui era yang tidak biasa karena pandemi global. 

Dua tahun terakhir ini detik-detik peringatan HUT Kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia terasa berbeda. Tanpa kemeriahan warga di kampung, dusun, desa dan kota yang biasanya heboh dengan aktivitas seperti lomba panjat pinang, makan kerupuk, lari karung, baris berbaris, upacara bendera dan aneka kegiatan lainnya. 

Ketika masyarakat merayakan kemerdekaan di lahan kampung atau komplek perumahan, di saat itulah terjadi indahnya Bhineka Tunggal Ika. Mereka menikmati suasana peringatan HUT RI dalam keberagaman. 

Ilustrasi: Berkibarlah Benderaku (rupa-rupa.com)

Selain itu warga juga menyaksikan para penjual bendera Merah Putih dan beraneka asesorisnya. Penjual bendera ini ibarat buah langka yang hanya muncul secara musiman, setahun sekali. Ada yang merindukan kedatangannya, ada juga yang enggan untuk mebelinya meskipun para penjual bendera ini telah menempuh perjalanan jauh dalam cuaca tropis. 

Mereka melintasi desa dan kota dengan gerobak untuk meraih rejeki dengan keuntungan yang tidak seberapa. Ternyata PM Susbandono, yang akrab dengan sapaan Pak Sus punya kenangan unik tentang penjual bendera. Itulah Pak Sus yang selalu mempersembahkan karya tulis yang aktual dengan situasi terkini yang sengaja digali dari ingatannya atau karena tiba-tiba melintas agar segera dituangkan dalam sebuah tulisan pendek yang bernas namun selalu ada kejenakaan di setiap tulisannya. 

Keahlian Pak Sus sebagai penulis aneka buku dan pengalamannya sebagai seorang nara sumber, moderator atau presenter di radio, seminar dan workshop human resources serta aktivitas sosial budaya bersama para sahabatnya - selalu ada karya segar yang muncul, yang mungkin ditulisnya ketika sedang duduk santai di halaman belakang rumahnya yang asri sambil menikmati kudapan dan teh hangat yang disiapkan sang istri tercinta.

Karya Pak Sus berikut ini akan memberikan nuansa baru di Hari Ulang Tahun Indonesia ke 76 tentang Bendera Merah Putih, Hansen dan kenangan Pak Sus dengan berbagai kisah dalam tulisan yang tetap unik dan mencerahkan hati. 


PM Susbando (msi-indonesia.com)

*Hari Kemerdekaan yang Menerangi*

@pmsusbandono

16 Agustus 2021

  _“Krisis, resesi, dan pandemi itu seperti api._

_Kalau bisa, kita hindari._

_Tetapi, jika hal itu tetap terjadi,_

_Banyak hal yang bisa kita pelajari._

_Api memang membakar,_

_Tetapi juga sekaligus menerangi.….”._

(Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo, 16 Agustus 2021)

 Nama panggilannya Hansen, usia sekira 30 tahun.  Dia pedagang bendera dengan gerobak.  Ada juga umbul-umbul beraneka warna, juga tiang bendera warna  merah-putih.

 Sebetulnya, Hansen pedagang tanaman.  Setiap awal Agustus, dia berubah profesi menjadi penjual bendera. Tanggal 17 Agustus dia kembali ke profesi semula.

 _“Sekalian merayakan 17-an pak”._

 Celetuknya menjawab pertanyaan saya.

 Minggu lalu Hansen lewat depan rumah.  Beberapa tetangga menyerbu dagangannya.  Saya idem dito.  Kebetulan ingin memajang umbul-umbul dan bendera panjang di pagar rumah.

 Tak lama berselang, jualannya nyaris ludes.  Tinggal 1 Bendera Merah Putih yang tersisa.

 _“Laris manis, tanjung kimpul”._

 Tiba-tiba, seorang tetangga berlari kecil menghampiri gerobak Hansen.  Dia mau beli Bendera Merah Putih, lengkap dengan tiangnya.

 Sesuatu yang mengejutkan terjadi.

 _“Maaf pak, tidak saya jual.  Saya mau pasang di rumah kontrakan saya”._

 Si calon pembeli setengah memaksa.  Hansen bersikukuh. Transaksi batal.  Hansen bergegas melipat kursinya, dan menghela gerobak menjauh dari kami.  Kami ternganga melihat “ulahnya”.

 Saya membayangkan,  itu akan segera dipasang di  rumah kontrakannya yang mungkin akan lebih semarak dihiasi Bendera Merah Putih.

 Sikap Hansen “agak aneh”.  Sebagai pedagang, dia tak melulu mengejar uang.  Sebagai Warga Negara Indonesia, dia memilih kontrakannya dihiasi Merah Putih.

 Hansen kehilangan  delapan puluh ribu rupiah.   Meski bukan orang kaya, dia lebih memilih kebanggaan akan simbol kemerdekaan bagi bangsanya, bagi negaranya.

 Tidak hanya pandemi yang bisa menjadi api.  Hari Kemerdekaan juga bisa menjadi bara yang menyala di dada.  Ia bisa membakar semangat dan menyinari makna bangsa yang merdeka.

 Kemungkinan besar Hansen tak paham akan retorika itu.  Dia hanya menuruti perasaannya bahwa Bendera Merah Putih telah membuat dadanya bergetar, setiap tanggal 17 Agustus. 

 Harry Hartoyo, sahabat saya sejak SD, asal Semarang, menyebut pilihan Hansen sebagai _“krenteg”._  (Bahasa Jawa : Kehendak yang kuat atau getaran jiwa).  _Krenteg_ yang sama juga dimiliki oleh seorang ibu asal Batusangkar yang jualan rempeyek berkeliling kampung kami.

 Saya tak tahu namanya. Saya hanya menandai bahwa jalannya agak diseret.   Dia menjual satu bungkus rempeyek dengan harga enam ribu rupiah.

 Yang istimewa bukan rasanya.  Tapi di dalam tas plastik besar wadah rempeyek-rempeyek itu, terselip Bendera Merah Putih.

 Tak begitu besar, tapi cukup menyita perhatian saya untuk menanyakannya.

 _“Saya beli duapuluh ribu.  Mau saya pasang di rumah”._

 Siapa bilang  kemerdekaan itu milik kaum elit saja?.  Siapa bilang kebanggaan akan Merah Putih itu monopoli para cerdik-cendekia saja?.  Siapa bilang nasionalisme itu punya golongan menengah ke atas saja?.

 Tidak.

 Hansen dan si ibu membuktikan lain.

 Greys dan Apriyani tergolong orang-orang spesial.  Mereka menangis saat Merah Putih dikerek diiring lagu Kebangsaan Indonesia Raya di Olimpiade Tokyo. 

 Tidak hanya mereka yang terharu.  Duaratus tujuhpuluh juta rakyat Indonesia  menggenggam rasa bangga yang sama.

 Greys dan Apriyani  bukan hanya membuat airmata suporter Indonesia mengucur mendengar lagu Indonesia Raya.

 Ada yang lebih dari itu.

 Telah terjadi “mukjizat” di luar gegap-gempita pertandingan Olimpiade Tokyo. Kemenangan mereka berefek ganda pada  hal-hal lain, yang berkenaan dengan spirit, ruh atau semangat kebangsaan.

 Merinding  saat menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agsutus 2021.  Kebanggaan yang tiba-tiba muncul  bereng-bareng, seolah menyadarkan bahwa dunia belum kiamat.  Indonesia negara besar yang tidak akan usai karena pandemi atau gangguan-gangguan apa pun yang  menghadangnya.

 Ketika ada orang menanyakan apa manfaatnya sikap penjual bendera, pedagang rempeyek, dan pasangan ganda putri yang merebut medali emas, saya memilih diam.

 Saya kadung yakin bahwa sikap dan perilaku seperti itu, bila dilakukan oleh sebanyak mungkin orang, dalam berbagai bentuk dan manifestasi, dengan berbagai pencapaian,  akan melahirkan optimisme yang menggumpal.

 Optimisme membuahkan kebanggaan.  Kebanggaan melahirkan usaha dan kerja keras, yang pada ujungnya menggapai pencapaian yang lebih banyak dan lebih tinggi.

 _“Proud creates achievement”._ (AVM)

 Begitu seterusnya, proses akan bergulir semakin cepat dan menghasilkan buah yang semakin banyak dan besar.

 Itulah, saya mengajak siapa saja, untuk tak kenal lelah, tak henti-hentinya, merayakan kemenangan dan  rasa nasionalisme, baik yang dilakukan oleh kaum elit atau masyarakat awam.

 Biar hanya catatan kecil dan tak berkesan,  jangan berhenti untuk menggaungkan ke setiap kesempatan dan permukaan.    

 Dua kali Hari Kemerdekaan yang dirayakan di tengah berkecamuknya pandemi bukan hanya api yang membakar, tapi juga nur yang menerangi.  Menghujat dan melumat adalah sia-sia, karena hanya menghancurkan  pencapaian yang sudah setengah jalan.

 Kita berjalan di atas rel yang sudah benar, meski jalan itu berliku, meliuk, berkerikil, dan panjang. Dengan sikap konstruktif dan sinergis, akan terdengar lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dialunkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan penuh semangat, dan irama yang menghentak.

 _“……….Hiduplah Indonesia Raya”._

Untuk melengkapi kesan indah Pak Sus tentang bedera Merah Putih, barangkali rasa dan karsa kita perlu digugah tentang makna dan tujuan sejati dari lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman dengan syair yang begitu indah dan puitis serta patriotik ini penting untuk diingat sejarahnya. Kenapa begitu?

Karena tidak banyak yang tahu bahwa versi Indonesia Raya secara lengkap 3 stanza sebagaimana bisa kita saksikan dalam tayangan berikut ini: 



Komentar

Topik Hangat

Sejarah dan Makna Puasa Ramadhan: Menyucikan & dan Meningkatkan Spiritualitas Umat Islam di Seluruh Dunia

HM Darmizal: Umroh Milenial Diluncurkan ICMI Travel | Kejutan Baru Di Era Digital

Muncul nama Ridwan Kamil & Ahmad Sahroni sebagai Cagub pada Pilkada Jakarta 2024. Bagaimana dengan Kaesang?

Shin Tae Yong Dari Panggung Kecil Wujudkan Impian Penggila Sepak Bola Indonesia

Pilkada DKI Jakarta 2024 Bakal Seru. PDI Perjuangan Calonkan Siapa?

Rekam Jejak Anies Baswedan: Analisis Sebelum Pemilihan Presiden 2024

Makan Siang & Susu Gratis: Antara Pro Kontra & Dampaknya Pada Masyarakat & Negara

Gibran, Mahfud MD & Cak Imin: Mampukah Merayu Calon Pemilih Pada Debat Cawapres?

Indonesia Keren