Pemenang Pilpres Amerika atau US Election 2020 adalah Kamala Devi Harris bukan Joe Biden dan tentu saja bukan Donald Trump. Itulah yang ditulis oleh PM. Susbandodo atau Pak Sus. Artikel Pak Sus memang sangat menarik dan menggelitik sukma.
Joe Biden dan Kamala Devi Harris siap memimpin Amerika Serikat (semarangku.pikiran-rakyat.com)
Pak Sus adalah penulis buku dan berbagai artikel yang terkenal sebagai pembicara di berbagai seminar, workshop, pembedah buku, juga seorang nara sumber penting di radio memang selalu punya perspektif unik dan selalu inspiratif.
PM Susbandono atau Pak Sus pada sebuah acara (perspektifbaru.com)
Terkait Pemilu Presiden di AS yang heboh dan disebut sebagai Pilpres Rasa Indonesia ini, Pak Sus pun mempunyai sudut pandang tentang pesta demokrasi di negri Paman Sam, yang sering dijuluki sebagai Mbahnya demokrasi.
Yuk kita simak bagaimana PM. Susbando yang ramah dan humoris ini memandang seorang Kamala Devi Harris sebagai Vice Presiden Elect pertama dari warga keturunan kulit hitam dari sisi ayah yang berasal dari Jamaica dan ibunya yang berasal dari India.
*Siapa Pemenang Pilpres Amerika*
@pmsusbandono
9 November 2020
_“America’s democracy is not guaranteed, it is only as
strong as our willingness to fight for it to guard it and never take it for
granted”._ (Kamala Harris)
Minggu, 8 November 2020, seorang teman yang “ketinggalan”
berita hasil pilpres Amerika, kirim pesan ke ponsel saya.
_“Siapa pemenangnya?.
Trump atau Biden?”._
Nada tak sabar mencuat dari kalimat itu. Pernyataan kemenangan Biden yang
dikumandangkan, bahkan sebelum proses perhitungan suara usai, membuat dia
ragu-ragu. Padahal, Biden-Kamala sudah menjadi pemenang.
Inilah jawaban saya.
_“Pemenang pilpres, Kamala Harris”._
Kalimat yang diikuti dengan emoticon _(emotion icon)_
bernada mengejek. Bagaimana mungkin
Kamala, cawapres, bisa menang dan terpilih menjadi Presiden?.
Jawaban saya tak sepenuhnya bercanda. Saya menobatkan Kamala menjadi “pemenang”,
setelah mendengar _victory speech_-nya.
Pidato Kamala istimewa, menyentuh dan mencerahkan. Lebih dari itu, sekaligus menyadarkan publik
(khususnya saya), untuk kalimat yang saya kutip sebagai pembuka. Kamala bicara tentang hakekat demokrasi. Demokrasi bukan sekali jadi, melainkan proses
yang harus terus diperjuangkan.
Demokrasi (tidak hanya di Amerika) sangat tergantung dari kehendak seluruh
rakyat untuk memperjuangkan, untuk mengawalnya dan jangan menganggapnya sebagai
produk sekali jadi dan harga mati.
Pidato Kamala mencerahkan saya, yang selama ini buntet. Simak 2 kalimat berikutnya.
_“And protecting our democracy takes struggle, it takes
sacrifice, but there is joy in it and there is progress. Because we the people
have the power to build a better future”._
Tiga kalimat yang terselip di “pidato kemenangan” Kamala,
layaknya suatu kuliah S3 Politik, dari sebuah universitas ternama di
dunia. Menurutnya, demokrasi membangun
masa depan bangsa.
“Dosennya” adalah pelaku
yang terlibat langsung dalam proses demokrasi. Dalam hitungan saya yang “baru kenal”,
ucapan “sang dosen” berhimpit dengan perjalanan hidupnya.
Fakta sejarah baru saja diukirnya. Harap maklum, Kamala menyandang 3+2 faktor
minoritas dan, atau diskriminasi, bahkan di negara _mbah_ -nya demokrasi,
seperti Amerika.
Pertama, Kamala adalah seorang perempuan. Indonesia lebih maju dibanding Amerika dalam
soal perempuan pemimpin. Kita pernah
punya perempuan Presiden. Amerika baru
sekarang memilikinya, itu pun baru orang
nomer 2.
Kedua, Kamala berkulit berwarna. Ayahnya seorang imigran dari Jamaica, Amerika
Utara, berkulit hitam. Ibunya berdarah India, Asia Selatan. Saya tak tahu, apakah ayah Kamala seorang
penyanyi _reggae_ dan ibunya lahir dari kasta apa. Keduanya tak penting, karena demokrasi telah
membuat perempuan indo itu akhirnya
berhasil memimpin negara besar. Penduduknya berasal dari seantero pelosok
dunia, yang mayoritas kulit putih, yang sering dicap arogan, dengan rasa
superioritas yang tinggi.
Ketiga, sulit mencari sumber resmi apa agama Kamala. Yang
pasti, Kamala dibesarkan oleh ibu kandungnya yang beragama Hindu. Sang ibu dirawatnya dan ketika meninggal
dunia, jenazahnya dibakar dan dilarung di laut lepas, teritori India. Tradisi Hindu dan India melekat dalam
dirinya.
Keempat, ada 2 faktor minoritas lainnya, meski kadang
justru menempatkannya dalam posisi menguntungkan, yaitu kecantikan dan
kecerdasan.
Di dunia yang sedang karut-marut seperti sekarang ini,
menjadi perempuan cantik sekaligus pintar justru sering menyulitkan. Entahlah.
Pesan Kamala, sebagai penyandang multi minoritas, terasa
tak dibuat-buat. Demokrasi berbanding
lurus dengan tekad para pelakunya untuk terus memperbaikinya. Kamala tidak hanya bicara, dia telah
melakukan dan membuktikannya.
Kamala sadar, membangun demokrasi tidak bisa dilakukan
dengan sikap biasa-biasa saja, sambil _leyeh-leyeh._ Kamala percaya,
menyehatkan demokrasi harus dilalui dengan pergumulan keras, dengan
pengorbanan, dengan penderitaan. Bahkan
dengan tetesan darah dan air mata. Sesudah itu tersembul kegembiraan dan
kemajuan yang menjanjikan.
_“Protecting our democracy takes struggle. It takes
sacrifice. There is joy in it and there is progress”._
“Pemenang” kali ini bukan Biden, atau Trump, melainkan
Kamala Harris. Dia telah mempraktekkan
pelajaran yang dipetik dari dirinya. Dia
mengajarkannya ke seluruh dunia.
Tiba-tiba, saya ingat akan proses demokrasi di
Indonesia. Ingat akan hiruk-pikuknya
pilkada, pilgub, pileg atau pilpres.
Meski di beberapa tempat menunjukkan bahwa demokrasi telah mencerminkan
kedewasaan bangsa, selebihnya masih compang-camping. Faktor primordial, seperti yang dimiliki
Kamala, masih sering menjadi isu yang digoreng untuk menjatuhkan pemiliknya.
Sekali lagi, demokrasi bukan sesuatu yang mandeg. Ia adalah perjuangan.
_“Democracy is not a state. It is an act”._ (John Robert
Lewis – Anggota konggres Amerika kulit berwarna, 1940-2020).
Artikel lain:
The Poise of Joe Biden
Komentar