Ironi di tengah COVID-19: akhlak VS perilaku
Seseorang dihormati dan menjadi panutan masyarakat karena
garis keturunan, gelar, kekayaan, pangkat dan status sosialnya di tengah masyarakat.
Orang disegani dan didambakan kehadiran atau petuahnya juga karena beberapa
keistimewaan yang melekat pada dirinya, baik karena keahlian, juga profesi mereka
maupun ketokohonannya di bidang tertentu seperti adat istiadat, sosial, budaya,
politik, juga di bidang keagaamaan.
Seseorang yang memiliki gelar di bidang
kerohanian seperti pastor, pendeta, pemangku adat, uztad atau Kiayi biasanya
tampil dengan simbol tertentu kalau bertemu jemaat atau pengikutnya di tempat
ibadah atau acara bernuansa keagamaan.
Kamera ada di mana-mana, sehingga kejadian seperti ini akan viral di medsos dan media nasional. Hal ini juga terjadi pada Umar Abdullah Assegaf (reqnews.com) |
Simbol tersebut berupa atribut pakaian dan asesoris yang
berkaitan dengan agama yang dianutnya. Hal ini sudah berlaku sejak jaman dahulu
agar masyarakat bisa melihat dengan jelas tugas dan fungsi mereka sebagai
pemimpin agama. Petuah, tausiyah atau kotbah mereka bukan saja bernafaskan nilai-nilai
agama, melainkan juga menyentuh aspek-aspek lain seperti sosial, ekonomi bahkan
politik.
Menjadi suatu fakta bahwa karena gelar dan simbol yang melekat
pada seorang tokoh juga menjadi panutan, yang lebih jauh mampu mempengaruhi isi
hati masyarakat. Mereka lantas dihormati atau tidak disukai bukan hanya apa
yang telah mereka ucapkan, juga karena perilaku mereka. Hal inilah yang sering
menimbulkan pro dan kontra di lingkungan kecil dan besar masyarakat kita.
Warga +62 tentu masih ingat dengan beberapa peristiwa
seperti Habib Bahar Bin Smith yang baru beberapa jam menikmati udara bebas di
tengah pandemi global, akhirnya dimasukkan kembali ke ruang tahanan, yang
kemudian dipindahkan dari rumah tahanan gunung Sindur ke Nusakambangan.
Hal itu sempat membuat Rudi S. Kamri, pemerhati politik
dari RdS Institute ini untuk menulis tentang Uztad Bahar Bin Smith yang merupakan
narapidana karena terbukti melakukan penganiayaan terhadap para santrinya yang
masih muda. Belum hal itu lenyap dari bayangan, Rudi kembali tergelitik untuk
menulis tentang Umar Abdullah Assegaf, yang telah berperilaku tidak sepantasnya
terhadap para petugas yang sedang menjalankan tugas mulia dan menerapkan aturan PSBB untuk mencegah COVID-19
atau virus corona agar tidak meluas.
Lalu apa yang menjadi keperihatinan Rudi S. Kamri yang belakangan
ini juga aktif di bidang sosial budaya selain aktif sebagai penulis serta
menjadi pembicara atau moderator seminar offline maupun melalui video conference
ini?
Kesholehan Seseorang
Bukan Dilihat Dari Pakaian Dan Gelar
Keturunan
Oleh:
Rudi S Kamri
Saya tidak bisa membayangkan betapa sedihnya Nabi
Muhammad SAW melihat orang yang mengklaim dirinya keturunan nabi tapi bertindak
brutal dan arogan mengeluarkan kata-kata kasar kepada petugas negara seperti
yang dilakukan Umar Abdullah Assegaf pengasuh Majelis Roudhotus Salaf, Bangil,
Pasuruan, Jawa Timur.
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan
terdahulu, pakaian seseorang bukan penanda keimanan dan kesholehan. Dan ini
terbukti dicontohkan oleh Umar Abdullah Assegaf. Meskipun dia berpakaian gamis
ala pakaian Arabia, ternyata tidak menjamin akhlaknya seputih gamis yang
dikenakan. Alih-alih dia meniru cara berpakaian Nabi Muhammad SAW, tapi dia
lupa meneladani ahlak dan perilaku nabi yang lembut dan penuh kesantunan.
Umar Abdullah lupa, Abu Lahab dan Abu Jahal juga
berpakaian serupa nabi, tapi akhlaknya berbanding terbalik 180° dari akhlak
Nabi Muhammad SAW yang penuh kemuliaan. Karena jelas pakaian orang beriman yang
paling hakiki adalah ketaqwaan, akhlak yang baik, perilaku santun dan tawadhu,
hati yang bersih dan pikiran yang lurus. Bukan hanya terbatas pakaian fisik dan
kelakuan buruk seperti dicontohkan Umar Abdullah Assegaf pada Rabu, 20 Mei 2020
yang lalu.
Di samping perilaku kasar dan brutal, cara berpikir Umar
Abdullah Assegaf juga sangat menyesatkan. Dia bilang hanya orang yang tidak
sholat yang akan terpapar Covid-19. Logika sesat ini sangat berbahaya kalau
ditularkan dan diyakini para jamaahnya. Ucapan Umar Abdullah Assegaf ini secara
tidak langsung juga merupakan penistaan bagi korban terpapar Covid-19, baik
yang masih dirawat maupun yang meninggal.
20 ribu lebih orang yang positif Covid-19 dan 1200 orang
lebih yang meninggal termasuk para tenaga medis, sebagian besar mereka juga
umat Islam yang taat beribadah. Ucapan dan logika sesat Umar Abdullah Assegaf
sangat melukai hati keluarga para korban. Di sisi ini Umar Abdullah Assegaf
tidak layak disebut sebagai ulama yang menjadi panutan.
Peristiwa memalukan yang dilakukan oleh Umar Abdullah
Assegaf adalah contoh terbaik bahwa dalam beragama kita harus mengedepankan
ketulusan, budi pekerti, karakter humanis dan akal sehat. Bukan sekedar
terbatas secara simbolik dengan menunjukkan cara berpakaian atau merasa
keturunan Nabi Muhammad SAW. Cara berpakaian dan keturunan siapa, tidak
menjamin apa-apa.
Seorang Pak Karto Kamijan, petani desa dari daerah Gunung
Kidul hanya dengan berpakaian batik sederhana dan sarung lusuh tapi mempunyai
sifat humanis, tawadhu dan bertutur kata sopan, akan mendapat penghormatan
tinggi dari saya dan kita semua, daripada orang yang mengklaim dirinya pemuka
agama, pengasuh pondok pesantren, keturunan nabi tapi berperilaku riya',
arogan, kasar dan semena-mena.
Terakhir, aparat keamanan negara harus tegas dan tidak
boleh ragu-ragu menindak keras para pelanggar aturan dan protokol kesehatan
yang sudah ditetapkan. Kelakuan busuk mereka bukan hanya membahayakan diri
mereka sendiri tapi juga berpotensi besar mengorbankan keselamatan orang lain.
Kepekokan dan kebebalan ternyata bukan monopoli
orang-orang yang berkerumun di pasar-pasar dan yang berburu pakaian lebaran di
mall-mall. Hmmm...
Salam SATU Indonesia
22052020
Komentar