Mencari Pemimpin Komunitas Atau Paguyuban Yang Sesuai Kondisi Masa Kini VS "Budaya Post Power Syndrome"
Pada era digital ini, banyak pemimpin komunitas mengaku terbuka pada inovasi dan kreativitas atau tepatnya pada ide-ide baru, sebenarnya lebih banyak yang hanya diucapkan di mulut saja. Mengaku tak apa-apa kalau dikritik, namun prakteknya bisa berbeda.
Ada banyak komunitas yang bermunculan belakangan ini, misalnya berdasarkan hobby yang sama, latar belakang adat istiadat yang sama atau perpaduan budaya yang berbeda-beda, komunitas seni, olahraga dan sebagainya.
Banyak pula komunitas yang terbentuk dan bertebaran di lingkungan warga komplek atau perumahan. Mereka punya aktivitas beraneka ragam seperti kegiatan seni, ekonomi kerakyatan, klub dansa, senam, olahraga permainan seperti sepak bola, futsal, bulutangkis, bersepeda dan sebagainya.
Pada awalnya komunitas ini berkembang karena ada kepedulian dan kebutuhan yang sama agar terwujud keakraban yang tujuannya agar mereka punya aktivitas bersama, sehingga tidak hanya duduk di teras rumah atau hanya nonton sinetron saja.
Banyak pula pemimpin lokal di lingkungan perumahan seperti RT RW yang mengakomodir keberadaan komunitas ini, sehingga saat ini semakin bertumbuh di berbagai perumahan kelas menengah atas maupun luar kompleks.
Semua perkembangan itu adalah sangat menggembirakan karena warga bisa berinteraksi satu sama lain, sehingga bisa saling tolong-menolong atau minimal bisa bergembira untuk membuat kegiatan bersama seperti olahraga, berkesenian, kelompok kerajinan dan sebagainya.
Di antara komunitas itu banyak pula yang berwujud seperti paguyuban atau kelompok arisan biasa. Yang menarik adalah ada peran para ketua RT dan RW yang terlibat di dalam komunitas atau paguyuban ini. Namun, sangat disayangkan adalah dominannya pengaruh dan "keuasaan" dari para pemimpin ini dalam mengatur paguyuban atau komunitas ini, sehingga akhirnya lebih terasa seperti birokrasi pemerintahan.
Misalnya setiap kegiatan harus ada SK Ketua RW. SK atau Surat Keputusan tersebut sah-sah saja untuk dibuat, namun yang menarik adalah bahwa, walaupun SK sudah dikeluarkan dan ditunjuk Ketua Panitia, ternyata panitia tidak bisa membuat keputusan mandiri dan selalu mendapat pengarahan, bahkan intervensi dari Ketua RW atau RT.
Jika terjadi seperti itu, maka untuk apa ada paguyuban yang tujuannya hanya untuk berkesenian, olahraga atau aktivitas yang sifatnya untuk menumbuhkan keakraban akhirnya dikelola dengan gaya kepemimpinan dan birokrasi pemerintahan?
Esensi paguyuban dan komunitas pun akhirnya tak punya makna. Misalnya pemilihan Ketua dan anggota paguyuban atau komunitas seharusnya diselenggarakan dari anggota untuk anggota, ternyata harus dibuat SK RW terlebih dahulu. Setelah turun SK, Ketua Panitia yang ditunjuk pun harus selalu koordinasi dan minta petunjuk dengan "pejabat" yang mengeluarkan SK tersebut.
Panitia itu akhirnya tidak mandiri, padahal ini hanya untuk kegiatan paguyuban atau komunitas bukan pemerintahan.
Namun, memang tidak aneh jika sikap ego tersebut akhirnya sering muncul. Mungkin karena Ketua RT atau Ketua RW ini adalah mantan pejabat pemerintah atau TNI/Polri, sehingga gaya birokrasi masa lalu pun tetap dibawa-bawa dalam urusan paguyuban. Pakar psikologi mungkin menyebut karakter dan gaya kepemimpinan itu masih muncul di era digital ini adalah karena masih belum sembuh dari "post power syndrome".
Para pemimpin lokal yang belum sembuh dari post power syndrome ini sulit menerima hal-hal baru termasuk pada kreativitas dan inisiatif yang positif. Setiap orang harus minta petunjuk, bahkan melakukan intervensi terhadap paguyuban yang ada. Kalau hal ini masih terjadi, maka warga yang tergabung dalam paguyuban atau komunitas akan apatis dan malas untuk berkreasi dan mengajukan usul konstruktif. Demokrasi sudah layu sebelum berkembang.
Kalau gaya semi otoriter ini masih berlaku, tidak heran kreativitas dan tujuan asli dari dibentuknya sebuah paguyuban akhirnya sia-sia saja. Tujuan yang lebih jauh tentang proses demokratisasi yang mulai dari bawah pun sirna, karena selalu harus berdasarkan petunjuk, bahkan sering ada intervensi.
Komentar