Hot Topic

QUO VADIS ARAH PEMBANGUNAN NASIONAL?

QUO VADIS ARAH PEMBANGUNAN NASIONAL?

“Evaluasi dan Proyeksi Kebijakan Pembangunan Nasional Dalam Multiperspektif”


Di mana posisi bangsa kita sekarang? Tinggal berapa kekayaan bangsa kita hari ini? Berapa banyak potensi yang dimiliki bangsa ini? Jawabannya tentu beragam. Tetapi di atas segalanya, kita akan mafhum bahwa setelah melakukan evaluasi (autokritik/audit) sebagaimana biasa dilakukan dalam perusahaan-perusahaan—kita akan tahu bagaimana treatment dan arah pembangunan negeri ini ke depan (Indonesian Dream). Bagaimana Indonesia dibangun secara modern ke depan namun tetap mengedepankan nilai-nilai humanisme kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).

Abdul Ghofur Direktur Eksekutif LKSB memberikan sambutan sebelum diskusi (Image: New Inspiration Channel)

 Negara modern dan pemerintahan yang demokratis adalah suatu sistem pemerintahan-kenegaraan yang dapat menjamin (melindungi segenap tumpah darah) dan memastikan hak-hak masyarakat secara demokratis di pelbagai lini kehidupan. Sehingga, negara dan pemerintahan yang demokratis adalah yang mampu menjamin dan memastikan sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) berjalan secara adil dan demokratis dengan sektor swasta (ekonomi pasar) sekali pun. Dalam suatu tesisnya, Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001) menyebutkan, belum pernah ada, dan hampir pasti tidak mungkin ada, negara demokratis-modern yang terkonsolidasi dengan rezim ekonomi pasar murni. Sebab, setelah penguatan masyarakat sipil, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum, pengefektifan birokrasi, fase kelima dari konsolidasi demokrasi adalah pelembagaan masyarakat ekonomi. Artinya, ketika ide demokrasi telah diwujudkan, fase berikutnya adalah mensejahterakan rakyat.

Konsep sejahtera sendiri memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kebutuhan akan kebebasan politik. Artinya, harus ada keniscayaan bahwa kewajiban utama konsolidasi demokrasi di masa transisi dan disrupsi adalah menciptakan "akselarasi kesejahteraan." Meski pun, pada masa transisi kita tetap membutuhkan kestabilan politik dan keamanan, tetapi tidak melulu menyerahkan stabilitas politik pada militer. 

Karyono Wibowo (Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute) (Image: New Inspiration Channel)

Melainkan suatu upaya bersama yang akan memberikan kenyamanan umum bagi seluruh kegiatan produktif di pelbagai lapisan sosial. Di sini produktivitas dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan serta kepastian menikmati hasilnya bisa dicapai. Pengaruh positifnya, seperti yang kita rasakan, adalah pertumbuhan dan akumulasi hasil kerja yang terjadi hampir serempak, bukan saja di pelbagai golongan masyarakat, melainkan juga antar daerah. Kendati tentu banyak hal harus ditingkatkan, stabilitas politik dan keamanan itu seakan-akan berfungsi sebagai lapisan udara, dengan apa masyarakat secara bersama (bukan individual) bernafas mempertahankan hidup.

Namun, melihat fenomena global negara-negara di berbagai belahan dunia tak terkecuali Indonesia, kini justru terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Dus, hampir tiga tahun dilanda pandemi covid-19 makin menambah beban dan perlambatan (jika tidak ingin dikatakan kehancuran) ekonomi di tingkat nasional, regional dan global. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu (yang liberal) yang konon katanya “demokratis,” belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan mereka masih “berpusing-pusing” menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat, politisi dan saudagar politik yang menjauhi rakyat. Para tekhnokrat ini menjalankan negara dengan landasan ideologi neoliberal yang terlalu mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing dan beriman pada ekonomi pasar.

Para tekhnokrat ini melupakan ekonomi domestik, menjual badan usaha milik negara dengan murah, mengobral sumber daya alam dan swasembada masyarakat secara sembrono dan membenci produk dalam negeri. Padahal, mengutip Juan J Linz dan Alfred Stepan (2001) serta Johan Norberg (Membela Kapitalisme Global, 2001), ada tiga alasan suatu negara yang sedang transisi untuk menjauhi madzhab neoliberal, pertama, sehebat apapun ideologi neoliberal, mereka masih memerlukan negara untuk berperan mensahkan seluruh transaksi ekonominya. Kedua, bahkan pasar yang paling hebat sekali pun pasti mengalami kegagalan-kegagalan pasar yang selalu harus dikoreksi agar ia berfungsi secara baik dalam rangka penyejahteraan masyarakatnya. Ketiga, demokrasi (liberal) menuntut persaingan bebas yang berpijak pada prioritas sekelompok kecil elit kaya raya (oligarki), bukan berprioritas pada masyarakat banyak.

Artinya, meskipun pemerintahan dipilih secara demokratis, tetapi bila ia menabrak konstitusi, melanggar hak individu dan minoritas (ekonomi under level), tidak mematuhi hukum serta tidak memberikan peningkatan pemenuhan hak dasar masyarakat dan pemerataan ekonomi rakyat, maka pemerintahan itu tidak layak disebut pemerintahan demokratis. Sebaliknya, hanya layak mendapat julukan sebagai pemerintahan seolah-olah demokratis (pseudo-demokratis), bahkan Olle Tornquist (1999) menyebutnya “demokrasi kaum penjahat rakyat.”

Suasana diskusi yang berlangsung hangat dan seru dipandu oleh Halomoan N. Siagian dari "Teman Belajar & Diskusi" sebagai moderator (Image: New Inspiration Channel)

Setelah proses pemilu (liberal) ”ter-demokratis” dilewati, para politisi, saudagar, dan belitan utanglah problem lanjutannya yang masyarakat terima. Politisi saudagar, mempertajam model politik perdagangan yang menakar kemenangan berdasarkan hukum untung-rugi semata, tanpa peduli pada nasib rakyatnya. Politisi saudagar menguatkan negara kapling yang diwarisi oleh rezim-rezim otoritarianisme. Inilah politisi yang gagal memahami pesan dasar para pendiri negaranya dan gagal menyejahterakan rakyat banyak, karena gagal memahami politik utang. Padahal, politik utang di luar politik yang lain adalah sumber malapetaka negara-negara post-kolonial.

Memahami politik utang, sebagai upaya bagi pemecahan problem negara-bangsa post-kolonial, menjadi tugas maha penting. Karena akibat globalisasi ekonomi, akan terjadi the death of democracy. Demokrasi sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elit, untuk “para investor kapitalis.” Apa buktinya? Para pemimpin negara-bangsa post-kolonial saat ini, demikian memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk “melayani” kapitalis global yang tidak memilihnya. Sebab, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial, walau masih memperhitungkan para pemilih dalam negeri (domestic constituent), tetapi justru demi untuk mengelabui para konstituen inilah para pemimpin akan melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang menanamkan (invetasi) modal di negaranya.

Dengan puspa ragam upaya, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial mengundang, merayu untuk mendatangkan investor kapitalis agar menanamkan saham dan uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para pemimpin negara-bangsa post-kolonial bersaing dengan sengit karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. 

Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (borderless economics), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global. Pemerintahan nasional menjadi limbo (bingung) memproyeksikan kebijakan pembangunan nasional karena minus evaluasi menyeluruh terhadap landscape pembangunan sumberdaya bangsa di pelbagai lini. 

Salam Pancasila para narasumber sebelum diskusi seru ini dimulai (Image: New Inspiration Channel)

Karena tidak memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pembangunan nasional juga belum terlihat menghasilkan kualitas hidup manusia yang kompetitif. Pada akhirnya, negara menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara-bangsa post-kolonial menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya![] Oleh karena acara ini setidaknya diharapakan dan bertujuan:

1.     Mengetahui gambaran umum arah pembangunan nasional (Indonesia outlook 2023 at least) dalam pelbagai bidang.

2.     Evaluasi dan proyeksi kebijakan pembangunan nasional pada skala lini.

3.     Menilik konsep percepatan kesejahteraan dalam pembangunan nasional (mengejar pertumbuhunan atau pemerataan) dan kepastian menikmati bersama kue pembangunan.

4.     Memastikan terjaminnya sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) banyak berjalan secara adil, demokratis dan humanis oleh pemerintah.

5.     Melihat sejauh mana fase dan akselarasi pembangunan nasional dalam berbagai aspek.

6.     Meninjau ulang apakah pelaksanaan pembangunan nasional mengedepankan nilai-nilai humanisme kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).

 Demikian press release ini dibuat, agar menjadi atensi khusus kepada seluruh stake holder bangsa ini khususnya para pengambil kebijakan.

 

Kegiatan ini diinisiasi oleh Indonesian Public Institute dan Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB). Supported by Kedai Ide Pancasila dan Alumni Taplai INTI Lemhanas RI Angkatan I.

Narasumber:

1.     Yustinus Prastowo (Stafsus Menkeu RI Bidang Komunikasi Strategis)

2.     Lily Tjahyandari, PhD. (Dosen Pasca Sarjana Cultural Studies FIB UI)

3.     Karyono Wibowo (Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute)

4.     Ir. Darmizal MS., M.Hum., MH. (Ketum ReJo)

5.     Desmen Rahmat Eli Hia, SH., MH. (Praktisi Hukum)

6.     Abdul Ghopur (Direktur Eksekutif LKSB/Salah-satu Inisiator Kedai Ide Pancasila)

 

Dihadiri oleh eksponen Aktifis 98, Aktifis eks. Organ Cipayung Plus, Majelis Taklim Al-Barokah Bonsay, Anak Kandung Indonesia (AKUI), aktifis pendidikan, budayawan, akademisi, kalangan professional, organisasi mahasiswa dan kepemudaan, Sangkhalifah.com. dan lain-lain. Acara diawali sesi poto bersama para narasumber dan tokoh-tokoh pergerakan.




Komentar

Topik Hangat

Sejarah dan Makna Puasa Ramadhan: Menyucikan & dan Meningkatkan Spiritualitas Umat Islam di Seluruh Dunia

Muncul nama Ridwan Kamil & Ahmad Sahroni sebagai Cagub pada Pilkada Jakarta 2024. Bagaimana dengan Kaesang?

Shin Tae Yong Dari Panggung Kecil Wujudkan Impian Penggila Sepak Bola Indonesia

Mengenal Lebih Dekat Kanker Paru-Paru: Gejala, Penyebab, Akibat, dan Cara Pencegahannya

Jenderal Purnawirawan Andika Perkasa: Dari Tentara Hingga Masuk Bursa Pilkada Jawa Tengah

Pilkada DKI Jakarta 2024 Bakal Seru. PDI Perjuangan Calonkan Siapa?

Mengejutkan Rekam Jejak Paus Franciscus: Asal Usul, Pendidikan, dan Perjalanan Menjadi Paus

Dampak Makan Ikan Yang Jarang Diketahui dan Yang Sudah Dipahami

Indonesia Keren