QUO VADIS ARAH PEMBANGUNAN NASIONAL?
QUO VADIS ARAH PEMBANGUNAN NASIONAL?
“Evaluasi dan Proyeksi Kebijakan Pembangunan Nasional Dalam
Multiperspektif”
Di mana posisi
bangsa kita sekarang? Tinggal berapa kekayaan bangsa kita hari ini? Berapa
banyak potensi yang dimiliki bangsa ini? Jawabannya tentu beragam. Tetapi di
atas segalanya, kita akan mafhum
bahwa setelah melakukan evaluasi (autokritik/audit) sebagaimana biasa dilakukan
dalam perusahaan-perusahaan—kita akan tahu bagaimana treatment dan arah pembangunan negeri ini ke depan (Indonesian Dream). Bagaimana Indonesia
dibangun secara modern ke depan namun tetap mengedepankan nilai-nilai humanisme
kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan
sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).
Konsep sejahtera sendiri memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kebutuhan akan kebebasan politik. Artinya, harus ada keniscayaan bahwa kewajiban utama konsolidasi demokrasi di masa transisi dan disrupsi adalah menciptakan "akselarasi kesejahteraan." Meski pun, pada masa transisi kita tetap membutuhkan kestabilan politik dan keamanan, tetapi tidak melulu menyerahkan stabilitas politik pada militer.
Melainkan suatu upaya
bersama yang akan memberikan kenyamanan umum bagi seluruh kegiatan produktif di
pelbagai lapisan sosial. Di sini produktivitas dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan
serta kepastian menikmati hasilnya bisa dicapai. Pengaruh positifnya, seperti
yang kita rasakan, adalah pertumbuhan dan akumulasi hasil kerja yang terjadi
hampir serempak, bukan saja di pelbagai golongan masyarakat, melainkan juga
antar daerah. Kendati tentu banyak hal harus ditingkatkan, stabilitas politik
dan keamanan itu seakan-akan berfungsi sebagai lapisan udara, dengan apa
masyarakat secara bersama (bukan individual) bernafas mempertahankan hidup.
Namun, melihat fenomena global
negara-negara di berbagai belahan dunia tak terkecuali Indonesia, kini justru
terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Dus,
hampir tiga tahun dilanda pandemi covid-19 makin menambah beban dan perlambatan
(jika tidak ingin dikatakan kehancuran) ekonomi di tingkat nasional, regional
dan global. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi
ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu (yang liberal) yang konon
katanya “demokratis,” belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini
dikarenakan mereka masih “berpusing-pusing” menikmati dan memperpanjang transisi
serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat,
politisi dan saudagar politik yang menjauhi rakyat. Para tekhnokrat ini
menjalankan negara dengan landasan ideologi neoliberal yang terlalu
mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing
dan beriman pada ekonomi pasar.
Para tekhnokrat ini melupakan
ekonomi domestik, menjual badan usaha milik negara dengan murah, mengobral sumber
daya alam dan swasembada masyarakat secara sembrono dan membenci produk
dalam negeri. Padahal, mengutip Juan J Linz dan Alfred Stepan (2001) serta
Johan Norberg (Membela Kapitalisme Global, 2001), ada tiga alasan suatu negara
yang sedang transisi untuk menjauhi madzhab neoliberal, pertama, sehebat
apapun ideologi neoliberal, mereka masih memerlukan negara untuk berperan
mensahkan seluruh transaksi ekonominya. Kedua,
bahkan pasar yang paling hebat sekali pun pasti mengalami kegagalan-kegagalan
pasar yang selalu harus dikoreksi agar ia berfungsi secara baik dalam rangka
penyejahteraan masyarakatnya. Ketiga,
demokrasi (liberal) menuntut persaingan bebas yang berpijak pada prioritas
sekelompok kecil elit kaya raya (oligarki), bukan berprioritas pada masyarakat
banyak.
Artinya, meskipun pemerintahan
dipilih secara demokratis, tetapi bila ia menabrak konstitusi, melanggar hak
individu dan minoritas (ekonomi under
level), tidak mematuhi hukum serta tidak memberikan peningkatan pemenuhan
hak dasar masyarakat dan pemerataan ekonomi rakyat, maka pemerintahan itu tidak
layak disebut pemerintahan demokratis. Sebaliknya, hanya layak mendapat julukan
sebagai pemerintahan seolah-olah demokratis (pseudo-demokratis), bahkan Olle Tornquist
(1999) menyebutnya “demokrasi kaum
penjahat rakyat.”
Setelah proses pemilu (liberal) ”ter-demokratis” dilewati,
para politisi, saudagar, dan belitan utanglah problem lanjutannya yang masyarakat
terima. Politisi saudagar, mempertajam model politik perdagangan yang menakar
kemenangan berdasarkan hukum untung-rugi semata, tanpa peduli pada nasib
rakyatnya. Politisi saudagar menguatkan negara
kapling yang diwarisi oleh rezim-rezim otoritarianisme. Inilah politisi
yang gagal memahami pesan dasar para pendiri negaranya dan gagal menyejahterakan
rakyat banyak, karena gagal memahami politik utang. Padahal, politik utang di
luar politik yang lain adalah sumber malapetaka negara-negara post-kolonial.
Memahami politik utang, sebagai upaya bagi pemecahan
problem negara-bangsa post-kolonial,
menjadi tugas maha penting. Karena akibat globalisasi ekonomi, akan terjadi the death of democracy. Demokrasi
sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elit, untuk “para
investor kapitalis.” Apa buktinya? Para pemimpin negara-bangsa post-kolonial saat ini, demikian memang
dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk “melayani”
kapitalis global yang tidak memilihnya. Sebab, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial, walau masih
memperhitungkan para pemilih dalam negeri (domestic
constituent), tetapi justru demi untuk mengelabui para konstituen inilah
para pemimpin akan melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah
mengglobal itu mau datang menanamkan (invetasi) modal di negaranya.
Dengan puspa ragam upaya, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial mengundang, merayu untuk mendatangkan investor kapitalis agar menanamkan saham dan uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para pemimpin negara-bangsa post-kolonial bersaing dengan sengit karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka.
Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (borderless economics), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global. Pemerintahan nasional menjadi limbo (bingung) memproyeksikan kebijakan pembangunan nasional karena minus evaluasi menyeluruh terhadap landscape pembangunan sumberdaya bangsa di pelbagai lini.
Karena tidak memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Pembangunan nasional juga belum terlihat menghasilkan
kualitas hidup manusia yang kompetitif. Pada akhirnya, negara menjadi “daerah omong kosong,”
pemimpin negara-bangsa post-kolonial menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,”
dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis
yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya![] Oleh karena acara ini setidaknya diharapakan dan bertujuan:
1.
Mengetahui gambaran umum arah pembangunan
nasional (Indonesia outlook 2023 at least) dalam pelbagai bidang.
2.
Evaluasi dan proyeksi kebijakan pembangunan
nasional pada skala lini.
3.
Menilik konsep percepatan kesejahteraan
dalam pembangunan nasional (mengejar pertumbuhunan atau pemerataan) dan
kepastian menikmati bersama kue pembangunan.
4.
Memastikan terjaminnya
sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil
society) banyak berjalan secara adil, demokratis dan humanis oleh
pemerintah.
5.
Melihat sejauh mana fase dan akselarasi
pembangunan nasional dalam berbagai aspek.
6.
Meninjau ulang apakah pelaksanaan
pembangunan nasional mengedepankan nilai-nilai humanisme
kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan
sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).
Kegiatan ini diinisiasi oleh Indonesian Public Institute dan Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB). Supported by Kedai Ide Pancasila dan Alumni Taplai INTI Lemhanas RI Angkatan I.
Narasumber:
1. Yustinus Prastowo (Stafsus Menkeu RI Bidang
Komunikasi Strategis)
2. Lily Tjahyandari, PhD. (Dosen Pasca Sarjana
Cultural Studies FIB UI)
3. Karyono Wibowo (Direktur Eksekutif
Indonesian Public Institute)
4. Ir. Darmizal MS., M.Hum., MH. (Ketum ReJo)
5. Desmen Rahmat Eli Hia, SH., MH. (Praktisi
Hukum)
6. Abdul Ghopur (Direktur Eksekutif
LKSB/Salah-satu Inisiator Kedai Ide Pancasila)
Dihadiri oleh eksponen Aktifis 98, Aktifis eks. Organ
Cipayung Plus, Majelis Taklim Al-Barokah Bonsay, Anak Kandung Indonesia (AKUI),
aktifis pendidikan, budayawan, akademisi, kalangan professional, organisasi
mahasiswa dan kepemudaan, Sangkhalifah.com. dan lain-lain. Acara diawali sesi
poto bersama para narasumber dan tokoh-tokoh pergerakan.
Komentar