Pandemi Global VS Kearifan Lokal
Pandemi global belum berakhir, bahkan terjadi ledakan kasus positif Covid-19 di berbagai negara yang disertai banyak kematian. Virus Corona tidak memilih tempat, waktu dan status sosial dan jabatan seseorang, entah itu posisi formal maupun informal. Di antara kita sudah banyak yang kehilangan sahabat, rekan kerja, tetangga, bahkan ada keluarga terdekat karena virus mematikan ini.
Media sosial dan media arus utama tidak pernah berhenti mengabarkan berbagai kasus terkait Covid-19 yang telah bermutasi dalam berbagai varian. Namun, masih tetap banyak yang lengah dan mengabaikan fakta yang terjadi. Yang disayangkan adalah sikap acuh dan meremehkan eksistensi sang Corona, bahkan sikap mengabaikan itu muncul dari sikap pemuka masyarakat dan tokoh yang seharusnya menjadi panutan warga.
Sepertinya tidak ada rasa welas asih dan sikap bijaksana dari orang dan dihormati, apapun fungsi yang sedang mereka jalankan di tengah masyarakat. Di antara mereka ada yang menjadikan pandemi global ini sebagai alat propaganda untuk misi tertentu seperti tujuan politik dan maksud tertentu. Sebagian anggota masyarakat yang mengidolakan sang tokoh pun ikut-ikutan bersikap dan berperilaku yang berlawananan dengan aturan protokol kesehatan.
Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia yang beragam karena mewarisi puncak-puncak tradisi dan budaya Nusantara yang adilhung ini sebenarnya sudah dibekali kearifan lokal untuk menjadi bangsa yang siap menghadapi tantangan di segala jaman, bahkan ketika ada musibah besar mengancam kehidupan.
Barangkali di antara kita pernah mendengar istilah "pantangan", "pamali", "larangan", "keramat" dan sebagainya. Begitu pula sikap dan perilaku terhadap sesama sudah diajarkan secara turun temurun. Namun, banyak perilaku dan cara berfikir yang berdasarkan kearifan lokal semakin luntur di tengah kita.
Misalnya di suatu daerah ada hutan yang menurut para tetua adat adalah dilarang untuk melakukan penebangan pohon-pohon secara sembarangan, tetapi "larangan atau pamali" atau apapun istilahnya di daerah masing-masing di Nusantara ini - ternyata diabaikan. Tidak heran kalau sedang musim hujan, longsor dan banjir bandang dengan mudah terjadi, sehingga bencana kemanusiaan pun terjadi.
Mereka yang lahir di era 1970an atau 1980an pernah mendengar ujaran kakek dan nenek agar kita jangan duduk di atas bantal. Cobalah anda ingat-ingat sejenak larangan lain yang pernah diucapkan orang tua kita atau para sesepuh. Di jaman digital ini tentu terdengar lucu dan tidak rasional.
Jika dicermati larangan untuk duduk di atas bantal, maksud sebenarnya adalah supaya bantal yang seharusnya untuk sandaran kepala saat istirahat itu agar tidak kotor karena kita telah duduk sebelumnya di lantai atau entah di mana lagi yang kotor.
Begitu pula pamali untuk meremehkan musibah yang sedang terjadi adalah berlawanan dengan sikap dan perilaku para leluhur kita. Pada jaman dahulu sebuah musibah direspon dengan sikap prihatin. Mereka merasa bersalah, sehingga banyak di antara para tetua adat yang berpuasa disertai permohonan serta doa agar musibah seperti wabah yang menyebabkan sakit dan kematian masal agar berlalu.
Kematian jutaan orang karena Covid-19 di jaman digital ini sampai saat ini masih banyak orang yang meremehkan. Masyarakat banyak yang terpengaruh setelah mendengar ceramah atau karena telah membaca serta mempercayai informasi yang salah (hoax) tentang virus Corona ini. Wejangan kakek nenek yang pernah mereka dengar di masa kecil tentang makna pamali dan kearifan lokal lainnya sudah luntur dari benak mereka.
Memiliki warisan seni budaya dan adat istiadat Nusantara yang indah seharusnya menjadi kebanggaan nasional. Nilai-nilai kebaikan dan adiluhung dari para leluhur seharusnya dijadikan panutan di jaman ini. Banyak kearifan lokal yang masih relevan untuk dilaksanakan.
Sudah saatnya kita mulai merenung untuk memilah terlebih dahulu sebelum memilih dan melakukan sesuatu, apalagi kalau terkait dengan bahaya Covid-19 ini. Penderitaan dan kematian karena virus Corona jangan sampai berlanjut. Himbauan dan peraturan yang dibuat pemerintah sudah maksimal, yang seharusnya dijalankan khususnya terkait protokol kesehatan.
Tiba waktunya untuk berhenti mempercayai dan meneruskan hoax atau hasutan yang dibuat oleh siapapun.
Komentar