Pilihan Kata dan Gambar Yang Timbulkan Kontroversi Di Tengah Covid-19
Kalau anda seorang penulis narasi iklan, pasti pemilik produk atau jasa akan meminta anda untuk membuat judul dan tagline yang heboh supaya eye catching, sehingga produknya laris manis.
Anda pasti pernah melihat di bilboard pinggir jalan, di televisi dan sekarang di smartphone anda berbagai narasi, kalimat singkat, bahkan kadang kala hanya satu kata. Ada juga banyak video clip bernuansa sosial, politik dan komersial yang sangat menarik karena judulnya heboh, foto atau videonya yang membuat kita tertawa, tersenyum, bahkan sering pula membuat kita terharu. Untuk sebagian orang mungkin akan menangis karena sangat tersentuh oleh tayangan itu.
Mungkin ini terlalu kreatif yang mundul bukan di jaman yang tepat? (kronologi.id) |
Di tengah pandemi global yang diakibatkan oleh virus Corona atau Covid-19 ini kita sering membaca judul tulisa berserta narasinya dan menyaksikan video tentang berbagai hal. Di antara keperihatinan yang memiliki dampak sosial dan ekonomi ini, ada komunitas yang punya niat dan tujuan baik untuk berbagi dengan sesama yang sedang kekurangan sumber makanan, namun karena terlalu kreatif, mungkin juga ingin nampak lucu, ternyata menimbulkan kontroversi.
Rudi S. Kamri sebelum menikmati hidangan di sebuah acara pada 2019 (dok. Rudi S. Kamri) |
Berikut ini kita simak bagaimana kesan Rudi S. Kamri, yang patut dibaca karena memang enak dan perlu. Kita sudah faham bahwa Rudi selalu punya argumen dan maksud yang mencerahka para pembacanya. Reputasi Rudi sebagai pengamat sosial politik dan aktif juga di kegiatan budaya Nusantara ini, patut disimak dan nanti dibagikan di jejaring media sosial anda.
Nasi Kucing, Nasi Anjing dan Nasi Onta
Oleh:
Rudi S Kamri
Benar apa kata pepatah, niat yang baik hendaknya
dilakukan dengan cara yang baik pula. Kalau tidak, esensi dari niat baik itu
akan hilang dan justru berpotensi menuai masalah baru yang seharusnya tidak
perlu terjadi.
Dan ini yang dialami oleh penggagas bantuan makanan yang
diberi label "Nasi Anjing". Meskipun nasi dan lauk pauknya dinyatakan
100% berbahan halal dan diproses secara halal pula, tetap saja pembagian nasi
ini menuai kontroversi.
Kenapa dinamakan nasi anjing, karena menurut penggagasnya
anjing dianggap binatang yang setia. Disamping itu karena porsinya dianggap
lebih banyak dibanding nasi kucing yang cuma sekepal tangan, makanya dinamakan
nasi anjing. Ini adalah contoh cara berpikir yang sederhana, polos namun tidak
punya kecerdasan dan kepekaan sosial yang memadai.
Dalam pengertian harfiah memang benar anjing dan kucing
sama-sama hewan yang lucu, setia atau apapun sebutannya. Namun dalam tata norma
berbahasa di Indonesia, secara semantik pengertian kata anjing kalau
digandengkan dengan kata lain bisa mempunyai makna berbeda dibanding kata
kucing.
Sebagai contoh: "dasar anjing loe" itu kata
makian yang kasar yang biasa digunakan untuk mengekspresikan kemarahan kepada
orang lain. Mengapa tidak digunakan "dasar kucing loe" atau
"dasar kelinci loe". Inilah yang dinamakan nilai rasa berbahasa
Indonesia. Tidak bisa kita bantah, karena sudah menjadi kebiasaan berbahasa di
negeri kita sejak dulu kala. Sama halnya dengan penamaan istilah "buaya
darat" untuk menyebut laki-laki hidung belang. Kalau kita bahas, memang
buaya hanya berjenis kelamin jantan atau hanya buaya yang suka main betina?
Tata berbahasa tidak sejauh itu alur dan pola berpikirnya.
Hal ini yang sangat tidak dipahami oleh penggagas bantuan
makanan nasi anjing. Label 'anjing' (bukan hewan anjing) terlanjur digunakan
untuk hal-hal yang negatif, entah makian maupun hinaan. Apalagi mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam, penamaan 'nasi anjing' sangat sensitif dan
bisa melahirkan persepsi yang berbeda. Jadi saya sangat mafhum kalau pembagian
nasi anjing ini akhirnya menimbukan kehebohan.
Apapun pembelaannya saya termasuk orang yang sangat tidak
setuju dengan penggunaan istilah nasi anjing. Dari sudut apapun menurut saya
tetap salah. Namun karena tujuannya baik dan terbukti tidak ada unsur bahan
yang diharamkan dalam agama tertentu, bagi saya ini adalah kesalahan karena
ketidaktahuan atau minimnya kepekaan sosial semata. Tidak ada unsur pidana atau
kesengajaan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Kalau memang porsinya besar, kenapa tidak dinamakan
"nasi kucing anggora", "nasi kucing arab", "nasi
kucing turki" atau "nasi kucing raksasa" aja sih ?
Di Indonesia, dalam berbahasa kita memang harus
menggunakan etika dan nilai rasa. Tidak bisa semaunya sendiri.
Ribetkah?
Tidak
juga. Ini yang menjadi pembeda bahwa kita disebut bangsa yang berbudaya, santun
dan beretika. Bukan bangsa yang gemar mencaci maki. Kalau ada kelompok orang
yang suka mencaci maki dengan kata-kata kasar itu pasti telah terinfiltrasi budaya
BUKAN Indonesia. Tahu kan?
Salam SATU Indonesia
27042020
Komentar