Perantau Tangguh Rela Tak Mudik Lebaran. Kenapa Mereka Tak Ikut Nyinyir?
Di layar televisi nasional, berita online dan tentu saja di media sosial pasti lebih banyak melihat serta membaca informasi tentang mereka yang dianggap "bandel" karena "nekad" mudik menjelang Lebaran di Bulan Puasa, di tengah ancaman Covid-19 alias virus Corona ini. Mudik adalah tradisi tahunan di saat hari raya keagamaan, bukan hanya di kalangan umat Islam.
Mudik adalah tradisi para perantau yang bukan hanya sekadar mengobati rasa kangen kepada keluarga, sambil mempererat tali silahturahmi dengan kerabat, tetangga dan teman-teman. Ini adalah tradisi psikososial yang sangat baik, bahkan dilakukan pula oleh warga di kampung Donald Trump di Amerika Serikat pada saat Thanksgiving, Hari Natal, begitu pula warga Tiongkok ketika menjelang Hari Raya Imlek.
Karena ada ancaman dari musuh tersembunyi yang berlabel virus Corona, tradisi ini pun "terpaksa" dilarang oleh Presiden Joko Widodo. Kita bisa menyaksikan bagaimana gestur Presiden Jokowi ketika menyampaikan "bad news" ini. Demi keselamatan warga dan keluarga perantau di kampung halaman masing-masing, dan tentu saja demi para pemudik itu sendiri, larangan mudik Lebaran pun diputuskan dengan berat hati oleh Presiden Jokowi, yang juga punya kampung di Solo ini.
Mengeluarkan keputusan seperti itu adalah tidak mudah karena mudik adalah tradisi para perantau yang telah dilakukan sejak dahulu kala, apapun agama dan latar belakang budayanya. Para politisi, pengamat, warganet dan media juga ikut mempermasalahkan kenapa keputusan itu tidak diputuskan Presiden Jokowi sejak PSBB diumumkan?
Anehnya ada juga ahli hukum yang mengatakan bahwa melarang warga untuk mudik di saat lebaran adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Menjadi pertanyaan, apa yang terjadi jika para perantau dan/atau keluarga yang di kampung akhirnya terpapar Covid-19 yang mematikan ini, apakah nyawa yang hilang atau sakit parah karena tersengat virus Corona akan mereka anggap sebagai risiko atau takdir belaka?
Mungkin kita perlu sesekali menonton ulang video Cak Lontong edisi "MIKIR", sehingga bisa merenung sejenak supaya berpikir lebih jernih dengan baik, sehingga bisa bicara benar dan bertindak tepat. Terlambat atau tidak, larangan mudik Lebaran oleh Presiden Jokowi adalah executive order yang tepat, sehingga korban yang lebih besar karena Covid-19 bisa dicegah.
Sementara itu, para perantau yang juga "terpaksa" batal mudik di bulan puasa tahun 2020 ini adalah para perantau tangguh. Mereka secara psikologis akan merasa kangen berat dalam waktu cukup lama, apalagi yang masih punya orang tua yang sudah sepuh di kampung halaman mereka atau istrinya yang ternyata lebih memilih tinggal di kampung atau kota asal. Betapa rindu hati para perantau yang berjuang keras untuk hidup lebih baik demi masa depan diri sendiri dan keluarga mereka.
Ada tayangan yang mungkin akan menyentuh hati para pembaca setelah selesai menyaksikan video ini.
Mudik adalah tradisi para perantau yang bukan hanya sekadar mengobati rasa kangen kepada keluarga, sambil mempererat tali silahturahmi dengan kerabat, tetangga dan teman-teman. Ini adalah tradisi psikososial yang sangat baik, bahkan dilakukan pula oleh warga di kampung Donald Trump di Amerika Serikat pada saat Thanksgiving, Hari Natal, begitu pula warga Tiongkok ketika menjelang Hari Raya Imlek.
Karena ada ancaman dari musuh tersembunyi yang berlabel virus Corona, tradisi ini pun "terpaksa" dilarang oleh Presiden Joko Widodo. Kita bisa menyaksikan bagaimana gestur Presiden Jokowi ketika menyampaikan "bad news" ini. Demi keselamatan warga dan keluarga perantau di kampung halaman masing-masing, dan tentu saja demi para pemudik itu sendiri, larangan mudik Lebaran pun diputuskan dengan berat hati oleh Presiden Jokowi, yang juga punya kampung di Solo ini.
Mengeluarkan keputusan seperti itu adalah tidak mudah karena mudik adalah tradisi para perantau yang telah dilakukan sejak dahulu kala, apapun agama dan latar belakang budayanya. Para politisi, pengamat, warganet dan media juga ikut mempermasalahkan kenapa keputusan itu tidak diputuskan Presiden Jokowi sejak PSBB diumumkan?
Anehnya ada juga ahli hukum yang mengatakan bahwa melarang warga untuk mudik di saat lebaran adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Menjadi pertanyaan, apa yang terjadi jika para perantau dan/atau keluarga yang di kampung akhirnya terpapar Covid-19 yang mematikan ini, apakah nyawa yang hilang atau sakit parah karena tersengat virus Corona akan mereka anggap sebagai risiko atau takdir belaka?
Mungkin sesesekali perlu Mikir seperti dilakukan Cak Lontong (semarnews.com) |
Mungkin kita perlu sesekali menonton ulang video Cak Lontong edisi "MIKIR", sehingga bisa merenung sejenak supaya berpikir lebih jernih dengan baik, sehingga bisa bicara benar dan bertindak tepat. Terlambat atau tidak, larangan mudik Lebaran oleh Presiden Jokowi adalah executive order yang tepat, sehingga korban yang lebih besar karena Covid-19 bisa dicegah.
Sementara itu, para perantau yang juga "terpaksa" batal mudik di bulan puasa tahun 2020 ini adalah para perantau tangguh. Mereka secara psikologis akan merasa kangen berat dalam waktu cukup lama, apalagi yang masih punya orang tua yang sudah sepuh di kampung halaman mereka atau istrinya yang ternyata lebih memilih tinggal di kampung atau kota asal. Betapa rindu hati para perantau yang berjuang keras untuk hidup lebih baik demi masa depan diri sendiri dan keluarga mereka.
Ada tayangan yang mungkin akan menyentuh hati para pembaca setelah selesai menyaksikan video ini.
Kalau anda berkenan, bagikan artikel ini untuk keluarga, kerabat dan para sahabat di jejaring media sosial anda apakah di facebook, twitter, instagram atau WA group, yang mungkin juga para perantau. Barangkali artikel dan tayangan tersebut bisa mengobati rasa kangen kepada keluarga serta memberi informasi tentang makna larangan mudik Lebaran ini.
Komentar