JK: Juragan Kancil
JK: Juragan Kancil
Oleh:
Rudi S Kamri
Siapa yang tidak kenal Jusuf Kalla (JK), saudagar Bugis
kelahiran Watampone 15 Mei 1942. Pernah jadi wakil presiden dalam dua Presiden
berbeda, periode 2004-2009 (Presiden SBY) dan 2014-2019 (Periode I Presiden Joko Widodo). Pernah jadi Calon Presiden 2009, tapi
kalah di putaran pertama. Pernah juga menjadi menteri perdagangan dan menko
kesra. Sekarang JK menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan Ketua
Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Jusuf Kalla & foto keluarga JK (solo.tribunnews.com) |
JK juga dikenal sebagai sosok yang luwes bermanuver
sehingga banyak orang menjuluki Si Kancil yang lincah dan cerdas. JK juga
dianggap piawai dalam menyelesaikan konflik horizontal, sehingga dijuluki tokoh
perdamaian Indonesia. Meskipun dalam kenyataanya perdamaian yang dibidani JK
tidak tuntas-tuntas amat. Selalu menyisakan persoalan pelik di kemudian hari.
Sebagai contoh Poso, ternyata sampai sekarang masih juga
muncul letupan-letupan kecil yang mengganggu. Juga di Aceh, butir-butir
perjanjian perdamaian Helsinki antara Pemerintah dan GAM ternyata banyak yang
belum terimplementasi. Seolah sedang menutup bara dengan kertas, sehingga
sewaktu- waktu berpotensi bisa berkobar dan terbakar.
Setelah secara konstitusi tidak mungkin lagi menjadi
wakil presiden, tahun 2019 lalu JK terpaksa turun tahta. Masyarakat berharap
dengan mengingat JK adalah mantan Wapres di era Presiden Jokowi, dalam periode kedua
Pemerintahan Jokowi ini, JK akan bertindak sebagai guru bangsa yang memberikan
saran atau nasihat strategis kepada Presiden Jokowi, seperti yang pernah
diperankan dengan baik oleh almarhum mantan Presiden BJ Habibie.
Tapi kita mafhum JK bukan Habibie, JK tidak terbiasa
melakoni peran dalam suasana panggung yang redup. Dia selalu menginginkan peran
yang memungkinkan tetap mendapatkan sorotan kamera dan tepuk tangan gemuruh.
Dalam kasus pandemi Covid-19, tidak bisa dipungkiri,
peran PMI yang dipimpin JK cukup besar dalam membantu penanganan penyebaran
virus corona. Tapi dalam kapasitas sebagai ketua umum DMI, upaya JK dalam
mencegah orang untuk tidak beribadah berjamaah kurang bergaung kuat. Di
beberapa tempat masih saja ada pelaksanaan sholat Jum'at dan taraweh. Termasuk
di kampung halaman JK di Makassar.
JK juga yang paling kencang berteriak kepada Pemerintah
untuk segera melakukan lockdown di Indonesia. Tapi teriakannya hanya 'didengar'
tapi tidak 'didengarkan'. Paham perbedaannya, kan?
Ada perbedaan yang signifikan cara Jokowi dan JK dalam
menyelesaikan masalah darurat. JK sangat pragmatis, tidak peduli dampak dan
yang penting masalah untuk sementara bisa ditutup dengan karpet. Sedangkan
Jokowi sangat komprehensif dan memperhitungkan semua aspek dengan detail.
Jokowi tidak perlu karpet merah, tapi masalah harus tuntas sampai ke
akar-akarnya.
Jusuf Kalla (ketika itu Wapres) memberi ucapan selamat kepada Anies Baswedan setelah dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai gubernur DKI Jakarta (pinterpolitik.com) |
Dalam usia hampir 78 tahun, saya menduga JK masih akan
berperan dalam perpolitikan nasional. Boneka manisnya yang telah didudukkan di
Balai Kota Jakarta masih akan terus diperjuangkan untuk bisa merangkak ke atas.
Tidak akan mudah memang, tapi JK pasti akan tetap ngotot bergerak. Meskipun
publik tahu sejatinya pengaruh JK di akar rumput saat ini sudah tidak
manjur-manjur amat. Terbukti saat kerabat dekatnya mencalonkan diri jadi
Walikota Makassar pada Pilkada 2018 lalu, dikalahkan secara memalukan oleh kotak
kosong.
JK akan tetap seperti dulu. Orang yang tidak mau melipir
minggir atau menjadi guru bangsa sebagai tempat bertanya. Dia akan tetap
sesekali berkomentar menyengat bagai lebah. Dan seperti biasa sentilan JK akan
diduplikasi dan diamplifikasi oleh boneka pinokionya yang ada di Balai Kota
Jakarta.
JK tetap akan menjadi Juragan Kancil yang lincah bergerak
dan flamboyan.
Sampai kapan?
Entahlah.......
Salam SATU Indonesia
26042020
Komentar