Setelah putusan MKD, apakah Novanto masih pantas diangkat sebagai Ketua Fraksi di DPR?
MKD akan mengeluarkan keputusan pada 16 Januari 2016 bahwa Setya Novanto terbukti telah melakukan pelanggaran etika. Setelah putusan MKD nanti, apakah Novanto masih pantas diangkat sebagai Ketua
Fraksi Partai Golkar? Ini sebuah pertanyaan tentang esensi dari etika seorang pejabat publik yang sangat heboh di Indonesia.
Barangkali banyak orang yang tidak tahu, ketika MKD atau Mahkamah
Kehormatan Dewan DPR menutup sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik dengan
teradu Setya Novanto, ternyata MKD
tidak memberikan sanksi apa pun kepada Novanto. Seolah-olah, MKD sudah puas dengan
pengunduran diri Setya Novanto sebagai ketua DPR, maka kasus rekaman yang
terkenal dengan sebutan #papamintasaham sudah dianggap selesai.
Setya Novanto ditunjuk Ical sang Ketua Golkar gantikan Ade Komarudin sebagai ketua Fraksi Partai Golkar. Photo: cnnindonesia.com |
Namun, Junimart Girsang, Wakil
Ketua MKD memastikan, MKD akan memberikan sanksi terhadap Setnov. Sebagaimana
diberiktakan oleh news.detik.com, "Tidak perlu diperdebatkan, kalau sidang harus ada
putusan. Sidang mana pun selalu ada putusan. Sidang merokok saja ada putusan,
apalagi sidang yang menyorot perhatian luas,"
Lebih
lanjut Girsang menambahkan bahwa penyusunan putusan itu diawali dengan pandangan
17 hakim MKD yang nantinya disebut sebagai batang tubuh. Setelah itu baru ada
amar yang menyatakan Novanto terbukti melanggar etik sedang dengan sanksi
pemberhentian Setya Novanto sebagai
Ketua DPR. Mayoritas hakim MKD telah menyatakan Novanto melakukan pelanggaran sedang,
yaitu 10 hakim. Keputusan ini akan dibacakan pada 16 Januari 2016 setelah usai
masa reses yang berakhir 10 Januari 2016.
Sebagaimana diketahui, diadukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Sudirman Said ke MKD karena dugaan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden
untuk meminta 'jatah' saham ke PT Freeport Indonesia, sehingga Novanto harus
menghadapi sidang kode etik di MKD. Sementara itu, Novanto pada sidang terakhir MKD, tiba-tiba
Novanto
mengundurkan diri,
dan diangkat Partai Golkar menduduki jabatan strategis ketua Fraksi Partai
Golkar di DPR, meskipun ada protes dari internal partai Golkar. Bahkan jabatan baru untuk Setya tidak pernah dikonsultasikan oleh Ical ke Dewan Pertimbangan
Golkar. Ini dikatakan oleh Akbar Tanjung.
Jika nanti MKD mengeluarkan keputusan bahwa Setya Novanto telah melakukan
pelanggaran etika dalam katagori sedang, apakah patut seorang pejabat publik
yang diputuskan bersalah karena telah melakukan pelanggaran etika lalu diangkat
lagi sebagai pejabat di DPR?
Junimart Girsang, Wakil Ketua MKD mengatakan bahwa akibat pemberian sanksi dari
MKD, maka akan menyebabkan Novanto tidak bisa duduk di Alat Kelengkapan Dewan
(AKD), seperti Badan Legislasi, MKD, Badan Anggaran, pimpinan komisi, Badan
Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) dan jabatan lain di DPR. Ternyata tidak ada
larangan jika Novanto nanti menggantikan Ade Komarudin sebagai Ketua Fraksi
Partai Golkar, karena itu urusan internal DPR, padahal posisi ini juga sangat
penting yang bisa mempengaruhi anggota fraksi Golkar lainnya dalam kegiatan
persidangan, pengawasan, dan kegiatan DPR lainnya.
Jika Setya Novanto memahami inti dari etika politik, maka Setnov seharusnya
menolak posisi baru sebagai ketua fraksi Golkar. Sampai saat ini belum ada
tanggapan dari Novanto tentang posisi barunya nanti setelah Ical alias Aburizal
Bakrie alias ARB yang menunjuk Setnov sebagai ketua fraksi, dan menunjuk Ade
Komarudin sebagai ketua DPR yang baru untuk menggantikan Novanto.
Sudah ada beberapa contoh pejabat publik di Indonesia yang megundurkan diri
dari jabatannya seperti Dirjen Perhubungan Darat yang mundur karena merasa
gagal menangani masalah kemacetan di jalan tol di masa liburan Natal. Contoh
yang sama juga ditunjukkan oleh Dirjen Pajak yang juga mundur karena tidak
berhasil memenuhi target penerimaan pajak. Mereka mengundurkan diri dengan
kesatria padahal mereka tidak melakukan pelanggaran etika atau pelanggaran
hukum, namun keputusan tersebut mencerminkan sikap kesatria seorang pejabat
Indonesia modern.
Barangkali Setya Novanto memiliki pemikiran sendiri tentang arti
pelanggaran etika, begitu pula para petinggi Partai Golkar yang mungkin
menganggap pelanggaran etika salah satu elite politik berlambang pohon beringin
itu sebagai hal yang biasa-biasa saja, sehingga tidak tidak perlu
dipermasalahkan. Rasanya, rakyat dan para pembayar pajak rugi menggaji pejabat
publik yang tidak mampu menjadi contoh atau tauladan yang baik.
Komentar