Kenapa celana dalam dan kondom Nikita Mirzani disita polisi?
Dua profesi terkenal yang bisa menghebohkan suatu negara, bahkan secara global - adalah profesi artis (celebrity) dan politikus. Biasanya karena mereka telah melakukan pelanggaran etika, kepatutan dan kepantasan yang membuat profesi mereka dicemarkan oleh sikap dan perilaku mereka.
Saat ini Indonesia digemparkan dengan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh seorang anggota DPR dengan jabatan tertinggi, Setya Novanto yang menjabat ketua DPR RI. Ada pula Nikita Mirzani seorang artis tanggung yang diduga terlibat prostitusi online, sehingga polisi merasa perlu untuk menyita kondom dan celana dalam alias underwear milik Nikita Mirzani sebagai barang bukti. Belum diketahui apakah kondom itu, apakah khusus untuk wanita atau untuk pria, begitu pula merek celana dalamnya belum ada konfirmasi.
Menurut berita online showbiz.liputan6.com Nikita Mirzani diciduk dalam keadaan setengah bugil di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat pada Kamis (11/12/2015) malam. Selain Nikita, polisi mengamankan F dan O yang disebut-sebut sebagai muncikari. Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Umar Surya Fana, menegaskan bahwa penangkapan ini merupakan buah dari pengamatan terhadap kasus ini sejak beberapa lama. Jadi, Umar membantah dengan adanya dugaan kalau Nikita sengaja dijebak dalam operasi tersebut.
Selain NM penyidik Bareskrim juga mengamankan model berinisial PR saat bertransaksi di kamar hotel Kempinsky, Jakarta. Ada pula bukti transfer (rekening bank), hari ini kami dapat rekening koran tersangka. Kemudian pakaian dalam, bill hotel, kondom, dan handphone," kata Umar di kantor Bareskrim.
Sementara itu, belitung.tribunnews.com juga melaporkan bahwa selain beberapa bukti itu, diamankan pula bukti lain dari pihak hotel, berupa rekaman CCTV (Closed Circuit Television), kwitansi pembayaran kamar, kunci kamar dan uang sebesar Rp 7 juta.
Belum ada kabar, apakah Polisi juga akan menyelidiki siapa saja para pelanggan para pelaku prostitusi online ini. Mengingat tarif yang sangat mahal, maka hanya para pria kaya berkantong tebal dan memiliki rekening dengan dana besar yang mampu untuk menikmati jasa yang ditawarkan oleh mereka, dan ada mucikari yang mendapat komisi besar dari bisnis yang telah ada sejak ribuan tahun ini, dan kini semakin canggih dengan menggunakan kehebatan teknologi informasi, Internet dan smartphone.
Apakah mungkin ada pengusaha, pejabat, bahkan politisi yang juga pernah memesan wanita atau artis yang sukses direkrut oleh mucikari tersebut. Di dunia politik dan bisnis sudah bukan rahasia lagi bila ada di antara mereka yang ingin mendapatkan kesenangan extra dari dunia malam atau prostitusi, bahkan bisa menjadi bagian dari gratifikasi atau suap. Masuk akal, karena suap berupa uang sudah biasa. Sepertinya uang dalam jumlah besar sering berkaitan dengan skandal politik atau skandal seks.
Dikutip dari news.detik.com, Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama alias Ahok juga meminta agar polisi mengungkap nama bila ada pejabat yang menjadi pelanggan. Bahkan Ahok menilai lebih baik tidak hanya mucikari yang dijatuhi hukuman, tetapi juga penikmat jasa prostitusi online dihukum.
Lebih lanjut Ahok juga mengatakan "Sekarang coba Pak Wapres saja bilang jangan diungkap pejabatnya tapi kalau mau adil, ya diungkap dong semua. Jadi jangan cuma hukum yang jualan (mucikari), tapi yang beli juga dihukum. Rp 65 juta sekali pakai mahal bos!" tutur Ahok di balai kota DKI, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Sambil menanti hasil sidang MKD yang adil dan memuaskan publik, barangkali polisi juga bisa mengungkap para pria terkenal, termasuk pejabat dan poltisi yang mungkin sering memesan jasa lady escort ini.
Saat ini Indonesia digemparkan dengan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh seorang anggota DPR dengan jabatan tertinggi, Setya Novanto yang menjabat ketua DPR RI. Ada pula Nikita Mirzani seorang artis tanggung yang diduga terlibat prostitusi online, sehingga polisi merasa perlu untuk menyita kondom dan celana dalam alias underwear milik Nikita Mirzani sebagai barang bukti. Belum diketahui apakah kondom itu, apakah khusus untuk wanita atau untuk pria, begitu pula merek celana dalamnya belum ada konfirmasi.
PR dan NM yang diduga terlibar prostitusi online. Image: solobrita.com |
Nikita Mirzani diduga terlibat prostitusi online. |
Sementara itu, belitung.tribunnews.com juga melaporkan bahwa selain beberapa bukti itu, diamankan pula bukti lain dari pihak hotel, berupa rekaman CCTV (Closed Circuit Television), kwitansi pembayaran kamar, kunci kamar dan uang sebesar Rp 7 juta.
Belum ada kabar, apakah Polisi juga akan menyelidiki siapa saja para pelanggan para pelaku prostitusi online ini. Mengingat tarif yang sangat mahal, maka hanya para pria kaya berkantong tebal dan memiliki rekening dengan dana besar yang mampu untuk menikmati jasa yang ditawarkan oleh mereka, dan ada mucikari yang mendapat komisi besar dari bisnis yang telah ada sejak ribuan tahun ini, dan kini semakin canggih dengan menggunakan kehebatan teknologi informasi, Internet dan smartphone.
Apakah mungkin ada pengusaha, pejabat, bahkan politisi yang juga pernah memesan wanita atau artis yang sukses direkrut oleh mucikari tersebut. Di dunia politik dan bisnis sudah bukan rahasia lagi bila ada di antara mereka yang ingin mendapatkan kesenangan extra dari dunia malam atau prostitusi, bahkan bisa menjadi bagian dari gratifikasi atau suap. Masuk akal, karena suap berupa uang sudah biasa. Sepertinya uang dalam jumlah besar sering berkaitan dengan skandal politik atau skandal seks.
Ahok gubernur DKI. Image: rmol.co |
Lebih lanjut Ahok juga mengatakan "Sekarang coba Pak Wapres saja bilang jangan diungkap pejabatnya tapi kalau mau adil, ya diungkap dong semua. Jadi jangan cuma hukum yang jualan (mucikari), tapi yang beli juga dihukum. Rp 65 juta sekali pakai mahal bos!" tutur Ahok di balai kota DKI, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Sambil menanti hasil sidang MKD yang adil dan memuaskan publik, barangkali polisi juga bisa mengungkap para pria terkenal, termasuk pejabat dan poltisi yang mungkin sering memesan jasa lady escort ini.
Komentar