Mayoritas Rakyat Tolak RUU PILKADA oleh DPRD
Poster "Jangan Rampok Hak Rakyat Dalam UU Pilkada. Image: news.metrotvnews.com |
Kini rakyat bisa melihat, suara rakyat bukan lagi suara Tuhan karena suara rakyat telah dipasung oleh para elite politik di gedung DPR (koalisi merah putih) dengan pemaksaan pilkada oleh DPRD. Tagline Partai Golkar dengan kalimat "Suara rakyat adalah suara Tuhan", juga mulai lenyap.
Koalisi Merah Putih sedang berdoa. Image: waspada.co.id |
Jika Partai Golkar yang menjadi pelopor Pilkada dilakukan kembali oleh DPRD masih bisa dimaklumi, namun kalau Partai Amanat Nasional (PAN) dimana ada Amien Rais, yang konon merupakan bapak reformasi bersama PKS, juga ikut-ikutan mendukung pemilihan kepala daerah dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk kembali dilakukan di ruang sidang DPRD tentu sangat membuat heran.
Sejarah tentu tidak bisa dihapus, karena para tokoh reformasi yang dimotori Amien Rais adalah penggagas utama amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tatanan dan aturan politik di Indonesia berubah total. "Berkat reformasi" 1998, rakyat Indonesia dikenalkan pada otonomi daerah, pemilihan umum secara langsung untuk anggota DPR dan DPRD, bahkan Presiden pun dipilih secara langsung.
Tiba-tiba Ical alias ARB yang bernama asli Aburizal Bakrie menyatakan demokrasi di Indonesia sangat liberal, padahal dia pernah ngotot untuk dicalonkan menjadi presiden yang dipilih secara langsung. Para elite Golkar pun banyak memiliki kepala daerah yang telah dipilih secara langsung. Sebenarnya ARB masih bisa berbuat baik untuk kepentingan rakyat kecil, misalnya mendorong dipercepatnya pembayaran ganti rugi pada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Ical alias ARB, Ketua Umum Golkar. Image: szaktudas.com |
Setelah kekalahan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa sebagai capres dan cawapres yang didukung koalisi merah putih, terjadilah kegaduhan politik. Kita masih ingat, tim Prabowo - Hatta menggugat KPU di MK, lalu seluruh gugatan mereka ditolak oleh MK, sehingga Jokowi - JK semakin lengkap legitimasinya untuk menjadi presiden Indonesia terpilih.
Lebih lanjut kita mendengar pula akan dibentuk Pansus Pilpres di DPR, juga gugatan tim Prabowo - Hatta ke Mahkamah Agung, bahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, meskipun belum dilaksanakan. Semua peristiwa ini membuat para pengamat dan rakyat selalu memperbincangkannya di mana saja. Apakah koalisi Prabowo - Hatta ini begitu sakit hati?
Gagasan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota di sidang DPRD dianggap banyak pihak sebagai perampokan terhadap kedaulatan rakyat. Alasan utama para elite koalisi merah putih antara lain: pilkada langsung bisa menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat, dan dianggap liberal oleh ARB, padahal Ical sangat mengagumi JFK (John F Kennedey), mendiang presiden Amerika Serikat yang merupakan presiden di sebuah negara liberal. Kenapa idola ARB bukan tokoh politik seperti Lenin, Fidel Castro atau Kim Jong Il dimana di negara mereka tidak ada pemilihan umum secara langsung?
Apa yang terjadi pada koalisi merah putih? Benarkan mereka sakit hati karena telah gagal dalam pemilihan presiden Juli 2014?
Ahok tolak Pilkada oleh DPRD. Image: kaskus.co.id |
Gerakan tolak pilkada tidak langsung akan terus bergulir,
bahkan para kepala daerah dari tingkat gubernur, bupati sampai walikota semakin
banyak yang menolak ide koalisi merah putih. Asosiasi Pemerintah Kabupaten
Seluruh Indonesia (Apkasi) serta Asosiasi Pemerintah kota seluruh Indonesia
(Apeksi) menyatakan menolak Pilkada dipilih langsung oleh DPRD.
Basuki Tjahja
Purnama alias Ahok yang sebentar lagi menjadi Gubernur DKI bahkan melakukan
tindakan ekstrim, Ahok telah mengundurkan diri dari Partai Gerindra. Langkah
Ahok mungkin terlalu berani, namun tindakannya telah didukung walikota
Singkawang, bahkan Ridwan Kamil dan Bima Arya juga menolak Pilkada oleh DPRD.
Apakah akan ada tokoh seberani Ahok untuk mengundurkan diri dari partainya?
Bima Arya, walikota yang merupakan anggota PAN ini memang belum mengundurkan
diri dari partai yang didirikan Amien Rais ini.
Meskipun ada beberapa masalah yang diakibatkan oleh
Pilkada secara langsung oleh rakyat, namun mayoritas rakyat Indonesia lebih “happy”
bila calon kepala daerah tetap dipilih secara langsung. Nampak bahwa “selera”
mayoritas rakyat dan “nafsu” para elite tidak sama dalam masalah pemilihan
kepala daerah ini.
Para pegiat demokrasi maupun para pengamat sangat khawatir,
bahwa politik uang eceran di saat pilkada akan berpindah menjadi suap menyuap
menjelang pemilihan seorang bupati, walikota atau gubernur bila pilkada
dilakukan oleh DPRD. Ahok juga mengatakan bahwa dia tidak mau menjadi budak
DPRD. Ucapan berani Ahok ini memang masuk akal, dimana para kepala daerah akan “melayani
alias menservice DPRD”, sehingga rakyat tidak akan begitu diperhatikan oleh para
kepala daerah.
Amien Rais bersama Hatta Rajasa dan Prabowo. Image: asiapacific.anu.edu.au |
Entah apa yang terjadi pada pikiran Amien Rais, sang bapak reformasi ini telah berubah cita rasa politiknya dari demokratis menjadi bergaya oligarki. Akal sehat profesor ini mungkin telah terkontaminasi dengan suasana di koalisi merah putih.
Jika benar pilkada secara langsung begitu banyak masalah misalnya kecurangan dalam rekapitulasi suara, kenapa Indonesia tidak meniru pemilu dengan cara e-voting seperti dilakukan di India. Indonesia memiliki BPPT dan banyak ahli IT yang akan bisa membuat pemilihan umum lebih transparan, bahkan hasil perhitungan suara bisa diperoleh dalam waktu singkat karena telah dilakukan secara elektronik. Apakah tidak ada "tokoh" cerdas yang mengerti tentang Informasi Teknologi di koalisi merah putih? Seharusnya teknologi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pemilu seperti di India dan negara lainnya, sehingga pemilu atau pilkada akan transparan, bahkan lebih murah serta lebih cepat diketahui hasilnya.
Kini, rakyat juga menunggu pidato Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), apakah akan memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk menarik draft RUU Pilkada dari DPR Senayan sebelum dibahas lebih lanjut atau masuk pada sidang paripurna? Setelah "enggan" menaikkan harga BBM sebelum masa jabatannya berakhir, SBY masih bisa menunjukkan dirinya sebagai demokrat sejati, apalagi SBY seorang pemimpin Partai Demokrat.
Benarkah SBY seorang demokrat sejati? Image: sayangi.com |
Jika SBY berani menolak pilkada untuk dilakukan oleh DPRD, atau menyatakan dengan tegas untuk mendukung pilkada secara langsung oleh rakyat, maka rakyat tidak lagi menyebutnya sebagai tokoh peragu, dan hanya bisa menunggu saat tepat untuk menyatakan pendapatnya. SBY yang demokrat dinantikan rakyat, sehingga hak rakyat tidak dirampok oleh para elite partai politik.
Para mahasiwa, aktivis demokrasi dan para pendukung pilkada langsung oleh rakyat tentu tidak akan tinggal diam. Meskipun ada saluran hukum melalui MK, sebaiknya MK tidak perlu lagi dibebani masalah pilkada ini karena mahkamah penjaga konstitusi ini masih bisa membahas masalah lain yang lebih penting untuk tumbuhnya demokrasi di Indonesia.
Komentar