Ambisi politik koalisi merah putih
Koalisi Merah Putih, apakah akan permanen? Image: nefosnews.com |
Meskipun demikian, Jokowi JK akan menghadapi jalan terjal untuk melaksanakan janji kampanye mereka. Koalisi Merah Putih bahkan telah menyiapkan ranjau Undang-undang MD3 yang disahkan sehari sebelum pilpres 9 Juli 2014, sehingga PDI Perjuangan yang merupakan pemenang pemilu legislatif (pileg) sepertinya akan mendapat hambatan untuk menduduki kursi ketua DPR. Ambisi politik dan kekuasaan Koalisi Merah Putih ini tidak berhenti sampai pada jatah kursi ketua DPR yang merupakan hak PDI Perjuangan yang merupakan pemenang pileg - padahal Marzuki Ali dari Partai Demokrat telah menjadi ketua DPR karena Partai Demokrat merupakan pemenang pileg 2009 - 2014. Koalisi Merah Putih juga siap dengan RUU Pilkada dimana kepala daerah: gubernur, bupati atau walikota akan dipilih oleh anggota DPRD, sehingga rakyat tidak lagi punya hak untuk memilih langsung para pemimpin mereka.
Koalisi Merah Putih berdalih - dengan alasan keadilan untuk partai-partai yang berhasil memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi di parlemen, maka pemenang pileg tidak otomatis bisa menduduki kursi ketua DPR/MPR - padahal pada periode sebelumnya sang pemenanglah yang berhak mendapat jatah sebagai ketua DPR. Rupanya sejak awal partai-partai yang ada di Koalisi Merah Putih "menyadari" atau "membayangkan" bahwa calon presiden yang diusung PDI P, yaitu Joko Widodo alias Jokowi akan menang sebagai presiden RI ke 7, sehingga pada UU MD3 disiapkanlah pasal supaya partai pemenang pileg tidak otomatis bisa menduduki kursi ketua DPR. Entah apa yang ditakuktkan oleh mereka jika kader PDI P yang jadi ketua DPR.
Berita terakhir yang kita ketahui bersama adalah ada wacana pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota akan dipilih oleh DPRD, bukan dipilih melalui pemilihan (pilkada) langsung. Wacana ini sangat disayangkan karena Pilkada langsung merupakan sarana rakyat untuk memilih para pemimpin daerah secara langsung, dan terbukti beberapa daerah telah mendapatkan gubernur, bupati atau walikota yang mumpuni serta memiliki integritas untuk menjadi walikota, bupati atau gubernur.
Apakah Koalisi Merah Putih anti demokrasi dan tidak mendukung gerakan anti korupsi?
Banyak pihak khawatir jika DPRD kembali seperti di jaman orde baru (Orba), dimana para gubernur, bupati dan walikota bukan dipilih langsung oleh rakyat. Indonesia akan kembali ke jaman oligarki, dimana para elite politik di DPRD akan melakukan "koalisi KKN" yang sarat dengan kepentingan golongan atau partai, sehingga sulit untuk memunculkan calon kepala daerah yang punya integritas dan kemampuan. Dipastikan pemilihan pemimpin daerah melalui mekanisme di DPRD tidak akan melahirkan bupati atau gubernur yang merakyat, apalagi pemimpin yang punya hobi blusukan seperti Jokowi.
Bima Arya dan Ridwan Kamil, walikota pilihan rakyat. Image: pikiran-rakyat.com |
Bahkan ada para tokoh seperti Bima Arya, walikota Bogor (dari PAN) juga menolak sistem pemilihan kepala daerah melalui mekanisme tertutup di DPRD.
Koalisi merah putih yang kini masih "menguasai" DPR justru ingin kembali ke jaman tirani Orba. Jokowi, presiden terpilih yang dilantik pada Oktober 2014 juga tidak setuju dengan ide koalisi yang dimotori tim Prabowo tersebut.
Pada UU MD3 juga ada hambatan serius untuk pencegahan korupsi yang sudah kronis di Indonesia, yaitu jika ada anggota DPR atau anggota DPRD yang terindikasi korupsi, maka KPK, kejaksaan atau kepolisian tidak bisa begitu saja untuk memeriksa anggota DPR atau legislator yang "nakal dan terduga melakukan tindakan korupsi". KPK dan lembaga penegak hukum lainnya harus mendapatkan ijin tertulis sebelum bisa melakukan pemeriksaan.
Apakah para elite di koalisi merah putih memang banyak yang bermasalah dengan integritas mereka, sehingga begitu banyak menyiapkan "hambatan" politis maupun yuridis untuk mencegah penindakan hukum yang adil dan transparan, sehingga hukum tetap bisa menjadi panglima di negeri katulistiwa ini. Hukum bukan hanya efektif untuk rakyat kecil saja. Rupanya kaum elite di koalisi merah putih yang lupa dengan prinsip "equality before the law", dimana semua warga negara adalah sama di mata hukum, baik hak maupun kewajibannya.
Akhirnya rakyat kini mendapatkan tontonan tidak elok, dimana ada elite dan koalisi partai yang tidak legowo menghadapi kompetisi, dimana pihak yang kalah sulit untuk menerima kekalahan, dan "ogah" untuk mengucapkan selamat kepada sang pemenang. Rakyat pun tidak mendapat pencerahan tentang sportivitas di bidang politik atau hukum, dan tidak aneh bila pada suatu pertandingan sepak bola para pemainnya, begitu pula para penggemar yang cenderung akan tidak sportif bila mengalami kekalahan. Jangan-jangan koalisi merah putih memang benar-benar ingin kembali ke jaman Orba dengan menjadikan jargon kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai slogan belaka.
Suryadharma Ali, tokoh koalisi merah putih, tersangka korupsi. Image: news.bisnis.com |
Tugas para pemuda, relawan Indonesia dan rakyat mendambakan keadilan hukum maupun politik memang harus selalu waspada dengan gerakan-gerakan yang anti demokrasi - seperti anti pilkada langsung dan anti pada gerakan pada aksi pemberantasan korupsi.
Para mahasiswa dan intelektual muda harus bangkit untuk melawan ambisi poltik dan kekuasaan dari koalisi merah putih ini.
Untuk apa ada reformasi jika pilkada dilakukan di sebuah ruangan tertutup tanpa partisipasi langsung rakyat melalui pemilihan langsung. Tentu mayoritas rakyat dan pemuda Indonesia adalah komponen bangsa yang anti korupsi, maka gerakan negatif dari anggota koalisi merah putih harus dihadang, baik melalui MK maupun aksi yang bisa dilakukan secara elegan melalui aksi damai maupun melalui media sosial. Rakyat yang cinta demokrasi serta mendukung gerakan anti korupsi sedang menantikan keputusan MK untuk membatalkan UU MD3 yang nyata-nyata anti demokrasi dan cenderung mendukung korupsi tersebut. Sekali lagi rakyat menantikan keputusan adil dari MK.
Komentar