Heboh di sekitar gugatan Prabowo di MK
Kita masih ingat, ketika tim kuasa hukum Prabowo - Hatta menyerahkan berkas permohonan ke gedung MK, Prabowo pun melakukan orasi di hadapan pendukungnya, begitu pula pada sidang pertama Prabowo memanfaatkan kesempatan untuk berpidato.
Mochtar Ngabali di youtube. Image: pas.com |
Para penonton televisi dan pemerhati jejaring video sosial Youtube juga dihebohkan dengan pernyataan Ali Mochtar Ngabalin yang mendesak Allah supaya memenangkan Prabowo, bahkan Ketua Umum Srikandi Gerindra, Nurcahaya Tandang, juga membuat heboh dengan menyebut Prabowo Subianto adalah titisan Allah. Banyak yang mempertanyakan kenapa tokoh-tokoh penting di lingkaran koalisi Merah Putih tersebut sering muncul pernyataan nyeleneh, yang sering di luar etika, sehingga membuat banyak orang awam maupun para cendekia Indonesia dan pengamat politik harus turun gunung untuk memberikan komentar, bahkan para psikolog pun dimintai pendapatnya oleh televisi.
Nurcahya sebut Prabowo adalah titisan Allah. Image: nasional.kompas.com |
Barangkali DPR perlu membuat Rancangan Undang-Undang tentang
etika berpolitik, begitu pula bila ada tokoh, pengacara atau
politikus yang menebar ancaman untuk melakukan kerusuhan hanya karena tidak
puas kepada sebuah keputusan publik.
Apakah perilaku tidak etis yang mengancam jiwa seseorang dan
provokasi membuat kerusuhan juga bisa dianggap sah – hanya dengan alasan
kebebasan berekspresi – di alam demokrasi? Apakah hanya itu yang bisa
dihasilkan dari reformasi?
Padahal ancaman atau provokasi yang dilakukan di
hadapan publik, apalagi disiarkan secara nasional oleh televisi, radio, media
online dan berbagai jejaring sosial itu juga ditonton oleh anak-anak dan
generasi muda. Jika tidak ada pendampingan orang tua, bisa saja anak-anak atau
kawula muda menganggap tindakan para tokoh yang seharusnya menjadi panutan itu
akan dianggap benar, dan boleh saja dilakukan bila tidak puas terhadap sesuatu,
misalnya keputusan pemerintah atau lembaga negara lainnya.
Prabowo tuduh pilpres 2014 seperti di Korea Utara. Image: merdeka.com |
Lebih aneh lagi bila ada seorang pengacara juga berperilaku tidak etis, misalnya mengancam untuk melakukan kerusuhan yang dibungkus dengan istilah "people power"? Apakah memang benar ada "preman politik" dan "preman hukum" di negara kita?
Sepertinya stempel "kampungan" untuk orang-orang seperti itu belum cukup. Mungkin mereka perlu diberikan penataran etika politik dan bagaimana bersikap maupun bertindak sesuai kepatutan, padahal Indonesia sangat bangga dengan adat ketimurannya.
Kemana para petinggi partai atau ketua umum partai dan ketua dewan pembina partai, apakah mereka membiarkan begitu saja bila ada petingginya yang berbuat atau berperilaku tidak etis, bahkan membuat ancaman kepada seseorang. Begitu pula asosiasi pengacara, apakah dibiarkan jika ada anggotanya yang melakukan provokasi yang meresahkan masyarakat?
Sepertinya Indonesia perlu merenung tentang berbagai peristiwa heboh yang terjadi dalam dunia politik maupun pada peristiwa hukum yang sering dihebohkan dengan kejadian-kejadian yang tidak nyaman untuk disaksikan.
Komentar