Gaya politikus ala poros tengah di kala pilpres 2014
Undang-undang
MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) dipaksa lahir pada kesibukan rakyat Indonesia
untuk mengikuti kampanye pilpres 2014. UU MD3 ini bukan hanya ditolak oleh
PDIP, juga oleh DPD, Kejaksaan Agung dan KPK. Presiden Jokowi pun akan
direpotkan oleh Undang-undang ini karena akan dibuat sibuk hanya untuk membaca
surat permohonan KPK supaya bisa memeriksa anggota DPR yang terlibat atau
disangka atau untuk menjadi saksi pada kasus korupsi. Apakah ini cara sebagian
besar anggota DPR yang ingin menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia?
Abraham Samat, Jokowi dan Ahok siap berantas korupsi. Image:metro.news.viva.co.id |
Pada era
reformasi kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ditelikung
Poros Tengah yang dimotori Amien Rais, sehingga Megawati Megawati Sukarno Putri
"digagalkan" untuk menjadi Presiden untuk menggantikan BJ Habibie.
Kelihaian Amien Rais untuk merayu beberapa partai dan tokoh politik lainnya
supaya Megawati tidak otomatis menjadi presiden, namun harus melalui voting,
yang tentu saja "koalisi poros tengah" telah siap untuk mengalahkan
PDIP, dan akhirnya Amien Rais "sukses" menjegal Megawati sang ketua
PDIP yang merupakan pemenang pemilu, dan Gus Dur pun menjadi presiden. Banyak
orang yang menduga, sebenarnya Amien Rais yang begitu semangat berdemonstrasi
bersama para mahasiswa memang punya keinginan untuk menjadi presiden, namun
"malu-malu" karena PAN bukan juara pertama pada pemilu 1999.
Gaya dan
cara serupa dilakukan untuk menjegal hak PDIP untuk menjadi Ketua DPR untuk
masa bakti 2014 - 2019 dengan dipaksakannya proses revisi Undang-Undang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD atau terkenal dengan nama UU MD3. Undang-undang ini disahkan
di saat rakyat tercurah perhatiannya pada pemilihan presiden.
Ada dugaan,
karena begitu tingginya elaktibilitas Jokowi, maka partai-partai yang tidak
satu visi dengan PDIP tidak rela bila kursi ketua DPR juga diketuai oleh PDIP.
Jika ini benar, maka tindakan para anggota yang sudah akan berakhir masa
tugasnya ini sangat tidak elok. Di negara lain, partai pemenang pemilu sudah
pasti akan menjadi ketua DPR atau memimpin kongres seperti di Amerika Serikat.
Ketika Partai Demokrat memenangkan pemilu pada 2009, Marzuki Alie dari Partai
Demokrat lah yang menjadi ketua DPR RI, dan karena PDIP yang menjadi pemenang
pemilu 2014, kenapa dijegal untuk menjadi ketua DPR?
Bukan
hanya PDIP yang keberatan dengan revisi UU MD3 tersebut, Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD juga keberatan dengan revisi tersebut karena tidak dilibatkan
dalam proses pembahasannya, padahal undang-undang ini juga mengatur tentang hak
dan kewenangan DPD. Kontroversi lainnya adalah mayoritas anggota DPR yang ingin
mengebiri kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangangi kasus
korupsi yang melibatkan anggota DPR, dimana KPK harus mendapatkan ijin tertulis
dari presiden sebelum boleh diperiksa oleh KPK. Proses birokrasi yang
bertele-tele ini tentu sangat menghambat penegakan hukum untuk memberantas
korupsi yang sangat kronis ini.
Ternyata
Kejaksaan Agung juga keberatan dengan UU MD3 ini, sehingga Kejaksaan Agung
membentuk tim khusus untuk mempersiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas
Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Sebelumnya KPK bersama DPD juga
sudah siap untuk menggugat keberadaan Undang-undang yang baru disahkan DPR awal
Juli itu. Para penegak hukum, baik KPK dan Kejaksaan Agung "sepakat"
dengan mayoritas masyarakat Indonesia bahwa UU tersebut telah mempersulit
penyidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan Agung.
Sementara itu DPD keberatan dengan masalah kewenangan DPD yang diatur pada
undang-undang tersebut.
PDIP bukan
hanya memprotes keberadaan undang-undang tersebut, sehingga PDIP telah
menyiapkan berkas dan tim kuasa hukum untuk mengajukan keberatan atau gugatan
ke Mahkamah Konstitusi karena partai ini diberlakukan tidak adil, bahwa ketua
DPR dan pimpinan lainnya harus dipilih melalui pemungutan suara, sehingga
partai-partai yang bukan pemenang atau partai-partai yang hanya mendapatkan
sedikit kursi pun berhak untuk menjadi ketua dan menduduki kursi wakil ketua.
Jika
dilihat dari posisi presiden, maka tugas-tugas presiden baru akan disibukkan
dengan membaca surat-surat permohonan untuk proses perijinan untuk membaca atau
memeriksa surat-surat untuk pemberian ijin kepada KPK untuk memeriksa anggota
DPR yang terlibat kasus korupsi.
Seharusnya presiden tidak perlu repot mengurus
birokrasi yang akan mengurangi jam kerja presiden Jokowi untuk bekerja atau
blusukan ke daerah-daerah di Indonesia yang dianggap membutuhkan perhatian
presiden, mengganggu sidang-sidang kabinet atau kerja diplomasi presiden ke
luar negeri untuk mempererat kerja sama dengan negara-negara sahabat, sehingga
Indonesia tetap mendapat perhatian dari negara lain untuk investasi, dan
memperlancar hubungan ekonomi dengan negara-negara lain, misalnya meningkatkan
eksport produk-produk Indonesia ke luar negeri.
Seluruh rakyat yang sangat menginginkan proses pemberantasan kasus korupsi yang lebih cepat, adil dan bersih pasti setuju supaya tidak ada birokrasi yang rumit jika ada anggota DPR yang terlibat kasus korupsi, dan bisa cepat diperiksa oleh KPK. Para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan untuk bisa memberikan keputusan yang adil, sehingga MK juga bisa menjadi bagian dari pelaku utama proses bernegara yang menjunjung tinggi keadilan dan proses demokrasi yang baik. MK pun bisa bebas dari bayang-bayang kasus Akil Mochtar yang telah divonis seumur hidup dalam kasus korupsi pada kasus Pilkada di berbagai daerah itu.
Komentar