ARB galau, kenapa Golkar tidak berani jadi oposisi?
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah secara resmi mendeklarasikan untuk mendukung Joko Widodo (Joko Wi) sebagai capres 2014. Ketiga partai tersebut telah sepakat untuk bekerjasama, bukan koalisi, dan siap memenangkan Joko Wi sebagai presiden RI ke 7, tanpa ada janji-janji untuk bagi-bagi jatah menteri atau jabatan, dan Joko Wi deberikan kebebasan untuk memilih Cawapres, apakah Mahfud MD, Jusuf Kalla atau Abraham Samad. Kita tunggu pengumuman resminya.
Sebelumnya publik sempat terperangah dengan pertemuan Joko Wi dengan Ical alias ARB di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Banyak yang mengira Partai Golkar akan pasti bergabung, namun partai Golkar tidak hadir pada pendeklarasian resmi Joko Wi sebagai capres pada 14 Mei 2014. Acara penting itu hanya dihadiri oleh Megawati Sukarno Putri, Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar.
ARB pasti galau karena belum punya teman koalisi, sehingga pada tanggal 14 Mei ini ARB menyempatkan bertemu dengan SBY di Istana, katanya membahas konstelasi politik jelang pilpres Juli 2014, bahkan ARB juga dikabarkan bertemu Wiranto, ketua Partai Hanura.
Ayo ARB, beranikah Golkar jadi oposisi saja?
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP telah dua kali menjadi oposisi, di seluruh periode pemerintahan SBY dari Partai Demokrat, dimana SBY berkoalisi dengan Partai Golkar, PKS, PKB, PAN dan PPP. Koalisi ini dipimpin oleh SBY, namun koalisi ini tidak solid karena Golkar dan PKS tidak loyal. Ini koalisi setengah hati, dan SBY tidak cukup berani untuk putus hubungan dengan PKS atau Golkar. PKS dan Golkar pun tetap nyaman ngendon di pemerintahan dan tidak berani menarik para menterinya dari kabinet SBY meskipun SBY sering diganggu di gedung DPR.
Jika ARB sadar bahwa dia tidak memiliki elaktibilitas yang tinggi, kenapa ngotot harus jadi presiden, dan sampai saat ini belum punya teman koalisi, sementara Prabowo sudah bisa tersenyum karena telah resmi berkoalisi dengan PAN.
Ayo Golkar, jika tidak berhasil membentuk koalisi supaya bisa mencalonkan presiden sendiri, kenapa tidak meniru PDIP yang sangat jantan menjadi oposisi, dan tidak tergiur menjadi bagian pemerintahan SBY, meskipun peluang untuk itu sangat besar. Bukankah sudah lebih dari 32 tahun Golkar selalu menjadi penguasa, kenapa tidak puasa sejenak - selama lima tahun - berubah paradigma, dan jadilah oposisi yang kritis namun siap juga mendukung program-program yang bagus pada pemerintahan baru nanti. Apakah harus selalu mendapat jatah jabatan menteri, wakil menteri, dirjen, dan posisi penting lainnya?
Jika Golkar memang mewakili suara rakyat, kini saatnya Golkar membuktikan diri, yaitu dengan menjadi oposisi. Barangkali rakyat akan lebih bersimpati, sehingga pada 2019 Golkar akan lebih mantap, dan bisa menang lebih besar. Barangkali Golkar tidak berani jadi oposisi. Jika Partai Demokrat berani jadi oposisi, harusnya Partai Golkar juga harus punya keberanian yang sama. Dalam politik, oposisi adalah pengakuan pada keberadaan demokrasi yang sejati.
Bukankah banyak orang pandai dan cerdik di Golkar yang siap menjadi oposisi cerdas di DPR? Atau masih semangat untuk membentuk poros baru?
Mari kita nantikan siapa cawapres Joko Wi, semoga Joko Wi mendapat pendamping atau calon wakil presiden yang faham hukum dan bijaksana.
Sebelumnya publik sempat terperangah dengan pertemuan Joko Wi dengan Ical alias ARB di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Banyak yang mengira Partai Golkar akan pasti bergabung, namun partai Golkar tidak hadir pada pendeklarasian resmi Joko Wi sebagai capres pada 14 Mei 2014. Acara penting itu hanya dihadiri oleh Megawati Sukarno Putri, Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar.
ARB ketemu Joko Wi di Pasar Gembrong. Image: simomot.com |
ARB pasti galau karena belum punya teman koalisi, sehingga pada tanggal 14 Mei ini ARB menyempatkan bertemu dengan SBY di Istana, katanya membahas konstelasi politik jelang pilpres Juli 2014, bahkan ARB juga dikabarkan bertemu Wiranto, ketua Partai Hanura.
Ayo ARB, beranikah Golkar jadi oposisi saja?
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP telah dua kali menjadi oposisi, di seluruh periode pemerintahan SBY dari Partai Demokrat, dimana SBY berkoalisi dengan Partai Golkar, PKS, PKB, PAN dan PPP. Koalisi ini dipimpin oleh SBY, namun koalisi ini tidak solid karena Golkar dan PKS tidak loyal. Ini koalisi setengah hati, dan SBY tidak cukup berani untuk putus hubungan dengan PKS atau Golkar. PKS dan Golkar pun tetap nyaman ngendon di pemerintahan dan tidak berani menarik para menterinya dari kabinet SBY meskipun SBY sering diganggu di gedung DPR.
Jika ARB sadar bahwa dia tidak memiliki elaktibilitas yang tinggi, kenapa ngotot harus jadi presiden, dan sampai saat ini belum punya teman koalisi, sementara Prabowo sudah bisa tersenyum karena telah resmi berkoalisi dengan PAN.
Prabowo dan Hatta Rajasa. Image: news.detik.com |
Ayo Golkar, jika tidak berhasil membentuk koalisi supaya bisa mencalonkan presiden sendiri, kenapa tidak meniru PDIP yang sangat jantan menjadi oposisi, dan tidak tergiur menjadi bagian pemerintahan SBY, meskipun peluang untuk itu sangat besar. Bukankah sudah lebih dari 32 tahun Golkar selalu menjadi penguasa, kenapa tidak puasa sejenak - selama lima tahun - berubah paradigma, dan jadilah oposisi yang kritis namun siap juga mendukung program-program yang bagus pada pemerintahan baru nanti. Apakah harus selalu mendapat jatah jabatan menteri, wakil menteri, dirjen, dan posisi penting lainnya?
Jika Golkar memang mewakili suara rakyat, kini saatnya Golkar membuktikan diri, yaitu dengan menjadi oposisi. Barangkali rakyat akan lebih bersimpati, sehingga pada 2019 Golkar akan lebih mantap, dan bisa menang lebih besar. Barangkali Golkar tidak berani jadi oposisi. Jika Partai Demokrat berani jadi oposisi, harusnya Partai Golkar juga harus punya keberanian yang sama. Dalam politik, oposisi adalah pengakuan pada keberadaan demokrasi yang sejati.
Bukankah banyak orang pandai dan cerdik di Golkar yang siap menjadi oposisi cerdas di DPR? Atau masih semangat untuk membentuk poros baru?
Mari kita nantikan siapa cawapres Joko Wi, semoga Joko Wi mendapat pendamping atau calon wakil presiden yang faham hukum dan bijaksana.
Komentar