Koalisi PPP dan Gerindra Runyam. Prabowo belum aman
Koalisi PPP dan Gerindra yang buyar. Image: tribunnews.com |
Ucapan Gus Dur bahwa para anggota DPR seperti anak TK, maka ungkapan Gus Dur memang telah banyak terbukti, misalnya anggota DPR sering tertidur di ruang rapat, teriak-teriak ketika interupsi di kala sidang, juga membolos karena alasan tidak penting, dan kini makin nyata terlihat dari gaya para parpol dalam membentuk koalisi, khususnya pada kelompok poros tengah.
Dimulai dari "kekeliruan" Surya Dharma Ali (SDA) dengan menghadiri kampanye Partai Gerindra, bahkan berpidato di kampanye tersebut bersama Prabowo. Buntutnya tidak enak dilihat karena banyak pimpinan dan elit partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak berkenan dengan langkah "pribadi" SDA tersebut, yaitu "mengkoalisikan" PPP dengan Gerindra plus mendukung Prabowo sebagai Capres, ditambah pula ucapan SDA bahwa dukungan itu diberikan dengan iklas oleh PPP tanpa ambisi minta jatah jabatan.
Ketika Gus Dur lengser (kiri). Image: kabarislamia.com |
Para pengamat dan ahli politik tentu tertawa dengan dukungan atau koalisi yang didasarkan rasa iklas itu, karena tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk berkuasa - lalu memerintah dan menjalankan program partai untuk kesejahteraan rakyat. Entah apa yang terjadi pada hati dan pikiran Surya Dharma Ali, sehingga dia bertindak seolah-olah dia pemilik PPP. Akhirnya terjadilah "goro-goro" di tubuh partai berlambang ka'bah ini, misalnya saling pecat, dan adanya mosi tidak percaya pada SDA.
Sementara itu, Prabowo Subianto yang telah lebih percaya diri untuk memenangkan Pilpres 2014 berkat "dukungan iklas" PPP atau tepatnya SDA, kini hanya bisa galau karena ada rapat di kantor PPP yang menyatakan bahwa Partai Persatuan Pembangunan "membatalkan" dukungan pada Prabowo, artinya koalisi yang dirintis SDA sudah bubar. Prabowo belum aman dan belum nyaman untuk kampanye, kemana dia akan cari dukungan lagi?
Bagaimana dengan kelompok poros tengah lainnya? Apakah ikut galau?
Dan bagaimana PDI Perjuangan melihat perkembangan koalisi di partai lain ini?
Dan bagaimana PDI Perjuangan melihat perkembangan koalisi di partai lain ini?
Indria Samego, seorang pengamat politik terkenal di sebuah televisi swasta pernah mengatakan bahwa keinginan Amien Rais (tokoh reformasi yang gagal jadi presiden) untuk membentuk koalisi dengan nama baru, "Koalisi Indonesia Raya" hanya sebuah obsesi Amien Rais.
Obsesi Amien Rais belum padam? Image: news.detik.com |
Amien Rais ingin menyatukan PAN, PKB, PPP dan tentu saja PKS dalam poros tengah dengan nama baru tersebut, bahkan diberi embel-embel koalisi baru ini adalah demi kesejahteraan Indonesia (ya dong), tanpa bagi-bagi jabatan. Kini ambisi Amien Rais menjadi mentah karena PKB "cenderung" untuk berkoalisi dengan partai berideologi nasionalis misalnya PDI Perjuangan atau barangkali Golkar, mungkin juga PAN.
Sepertinya PKB sudah kapok berkoalisi dengan partai Islam karena Gus Dur pernah dilengserkan, yang dimotori poros tengah. PKB juga ingat bagaimana runyamnya koalisi pada pemerintahan SBY, dimana PKS tidak tulus mendukung koalisi SBY di DPR, tapi tidak jantan karena tetap mempertahankan para menterinya di kabinet Indonsia Bersatu (SBY). Kita juga ingat bagaimana Amien Rais dan poros tengahnya pernah menjegal Megawati Sukarno Putri, sehingga PDI Perjuangan sang pemenang pemilu dengan bekal 30 persen suara - Megawati dikroyok poros tengah sehingga batal menjadi presiden untuk menggantikan BJ Habibie.
Heboh berita koalisi di televisi. Image: article.wn.com |
Kini pergolakan dan perjalanan safari koalisi menjelang pilpres 2014 semakin mengukuhkan kesan anak TK seperti yang diucapkan Gus Dur. Aroma transaksi politik dagang sapi sudah tercium jelas, karena mana mungkin koalisi tanpa pembagian jabatan. Katakanlah SDA, dalam kasus PPP, benar-benar rela tidak diberi jabatan sebagai menteri atau dicawapreskan, maka apakah anggota partainya yang telah bekerja keras ketika kampanye rela mendukung iklas 100 persen tanpa peluang untuk jabatan menteri atau Dirjen di kementrian? Mana mungkin lah.
Yang membuat heran adalah gaya Amien Rais yang seolah-olah lugu bahwa koalisi baru bernama Indonesia Raya itu akan bagi-bagi kekuasaaan, padahal dia seorang profesor dan tokoh politik. Jangan-jangan Amien Rais sudah menjadi petapa dan filsuf yang tidak lagi tergoda kekuasaan. Kasihan mahasiswa yang telah banyak membaca buku-buku politik karena pada teori politik kan ujung-ujungnya adalah menang pemilu lalu memimpin parlemen atau menjadi penguasa, apakah presiden atau perdana menteri dan lengkap dengan para menterinya.
Suara quick-count mengharuskan koalisi. Image: satuharapan.com |
Seharusnya Amien Rais mengajarkan kejujuran kepada bangsa yang masih belajar demokrasi langsung ini, bahwa politik boleh saja bagi-bagi kekuasaan dan jabatan dengan "syarat dan ketentuan berlaku", yaitu jabatan diberikan kepada orang yang punya keahlian, pengalaman, integritas, jujur dan anti korupsi. Plus kalau koalisi jangan menelikung atau melakukan gerakan menusuk dari belakang kepada presiden terpilih. Jika tidak suka atau ingin mengkritik, ya jadi oposisi saja. Oposisi juga merupakan posisi terhormat dan akan dianggap jantan dan berintegritas, namun siap juga mendukung kebijakan pemerintah yang memang baik untuk rakyat, bukan asal interupsi, bukan asal kritik.
Ayolah segeralah hilangkan stigma "anak TK", kini rakyat sudah lebih cerdas, jangan dibodohi lagi.
Rakyat tetap berharap supaya Pilpres 2014 harus aman, damai dan bisa mendapatkan presiden yang benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat, dan siap menjadi pembela negara di luar negeri, dan tentu saja akan ada kabinet dan parlemen yang anti korupsi.
Komentar